Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Berguru Antropologi Ekologi di Masyarakat Tiga Gunung, Antarkan Prudensius Maring Jadi Guru Besar

Media Indonesia
10/12/2024 20:42
Berguru Antropologi Ekologi di Masyarakat Tiga Gunung, Antarkan Prudensius Maring Jadi Guru Besar
Purdensius Maring (kanan)(Istimewa)

PROFESOR Prudensius Maring lahir dan menjalani masa kecil hingga usia SD di Desa Kloangpopot, sebuah desa terpencil saat itu di Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Kloangpopot adalah desa yang subur. Hal itu yang memungkinkan kedua orangtuanya dan penduduk desa menjadi peladang berpindah dan  bertransformasi menjadi pemilik kebun kopi, cengkeh, coklat, durian, dan buah-buahan lainnya. 

Keberhasilan transformasi ladang berpindah menuju tanaman tahunan menarik banyak peneliti melakukan kajian di sana dan menulisnya. 

Kebun rintisan orangtua dan penduduk desa itu membuat dirinya bangga mengajak tim peneliti dari Jakarta dan Australia berkunjung ke desanya dan makan durian di rumahnya pada Maret lalu.

“Latar ekologi itulah yang melandasi alasan kedua orangtua mengarahkan saya bersekolah menjadi sarjana pertanian agar kelak pulang kampung urus kebun,” ujar Prudensius.

Prudensius menuturkan bahwa pada 1987 hingga 1992 adalah masa dirinya mendalami dunia pertanian di Yogyakarta.

"Sebuah rentang proses pendidikan yang cukup meyakinkan saya bahwa dengan sentuhan teknis yang memadai maka bisa terselesaikan masalah pertanian dan urusan petani," tuturnya.

Bekal sarjana pertanian itu mendoronnya kembali ke NTT menjadi dosen PNS. Prudensius memublikasi beberapa opini di surat kabar lokal. Motif utama adalah memberi rekomendasi tanaman tahunan adaptif wilayah kering. 

Namun, sebagai dosen muda saat itu, kata Prudensius, tersirat pula pikiran bahwa publikasi adalah strategi dan taktik guna menunjukkan kepada sahabat dan masyarakat bahwa ada buah pikiran yang telah ia hasilkan dan diharapkan bermanfaat bagi lingkungan.

“Kebiasaan yang terus saya lakukan. Setiap masuk ke lingkungan baru selalu saya tunjukkan kehadiran melalui tulisan baru. Delapan tahun kemudian saya menyadari bahwa strategi dan taktik yang saya lakukan itu menyerupai pemikiran Michel Foucault dalam bukunya, Power/Knowledge, yakni memengaruhi orang atau pihak lain melalui pengetahuan dengan cara-cara persuasif,” ungkapnya.

Setahun lebih menjalani profesi dosen pertanian, mulai menjalar rasa ingin tahu yang baru dalam benaknya. Kembali mempertanyakan perannya terhadap desa dan kedua orangtuanya membuat ia galau dan pikirannya berkecamuk.

“Saya tergoda melihat masalah sumber daya alam dari aspek pendekatan pembangunan pedesaan dan dimensi sosial lainnya. Hal itu terlihat dari publikasi saya di koran lokal dengan judul Kualitas Partisipasi Masyarakat Pedesaan Terancam pada 2 Juni 1995. Itu adalah tulisan pertama saya tentang masalah sosial yang saya anggap sebagai tonggak penting,” ceritanya. 

Tulisan itu kini diintegrasikan dalam buku terbarunya berjudul Kontestasi Kekuasaan dan Raut Suram Ekologi.

Mulai Belajar Antropologi Ekologi

Gayung bersambut, di tengah godaan melihat dimensi sosial pengelolaan sumber daya alam, datanglah sepucuk surat dari Program Pengkajian dan Pengembangan Antropologi Ekologi Universitas Indonesia (P3AEUI), yang menawarkan penjaringan peneliti pemula

 Setelah terlibat dalam proses pelatihan metodologi kualitatif dan praktik penelitian antropologi tahun 1997 pada masyarakat Gunung Mutis di Timor, ia pun terpilih untuk belajar antropologi ekologi di UI.

“Melalui antropologi ekologi saya mempelajari hubungan antara kebudayaan dengan ekologi. Ternyata, hubungan manusia dengan lingkungan tidak bersifat linear/tunggal dan tidak berlangsung di ruang kosong tanpa kepentingan,” ungkap ayah tiga anak itu.

Antropologi ekologi, menurutnya, tidak lagi hanya bergulat dengan dirinya sendiri untuk mencari jawaban tentang hubungan determinasi antara kebudayaan dan lingkungan.

"Apakah kebudayaan yang mempengaruhi lingkungan atau sebaliknya lingkungan yang mempengaruhi kebudayaan. Melalui proses pendidikan magister saya mempelajari bagaimana hubungan antara masyarakat lokal dengan kawasan hutan, implikasi kebijakan, dan kepentingan stakeholders yang memicu konflik," ucapnya.
 
Ia mengakhiri studi magister melalui riset tesis tentang Masyarakat Lokal dan Kawasan Hutan: Proses Pengambilan Keputusan Pemanfaatan Lahan Kawasan Hutan Negara pada masyarakat di sekitar Gunung Betung Lampung.

Ia kemudian melanjutkan studi program doktoral di UI untuk mendalami antropologi kekuasaan dengan basis substansi ekologi. Ia menjalani riset disertasi dengan judul Hubungan Kekuasaan: Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi dalam Penguasaan Hutan pada masyarakat Gunung Egon di Flores. 

Usai mempelajari antropologi melalui perkuliahan kelas dan berguru langsung dengan masyarakat pada tiga gunung, yakni Gunung Mutis di Timor, Gunung Betung di Lampung, dan Gunung Egon di Flores, ia memublikasikan satu artikel dengan judul: Tercebur Seraya Meneguk Antropologi.

Pada tataran implementasi kolaborasi, para pemangku kepentingan harus sungguh-sungguh proaktif mengartikulasikan kepentingan masing-masing pihak, proaktif mendiskusikan perbedaan kepentingan masing-masing pihak, proaktif membangun kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, proaktif merumuskan tujuan dan strategi secara bersama, proaktif menentukan mekanisme pemantauan dan evaluasi untuk mengawal proses. 

Dengan berbagai penelitian yang dilakukannya, Prudensius pun resmi menyandang gelar Guru Besar Antropologi dengan SK yang ditetapkan pada 4 Juli 2024. (J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya