Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Mahasiswa UGM Teliti Child Sex Tourism, Ekses Negatif Pariwisata di Bali

Ardi Teristi ardi
24/9/2024 16:48
Mahasiswa UGM Teliti Child Sex Tourism, Ekses Negatif Pariwisata di Bali
Ilustrasi, child exploitation.(Dok. Freepik)

KASUS pelibatan anak-anak dalam pariwisata menjadi salah satu ekses negatif dari perkembangan pariwisata di Bali, terlebih adanya kasus Child Sex Tourism (CST). Mahasiswa UGM pun melakukan kajian penelitian untuk Program Kreativitas Mahasiswa dengan bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada.

Salah satu peneliti, I Ketut Aditya Prayoga menyampaikan, dalam proses viktimisasi, ia menemukan proses anak-anak tersebut menjadi korban CST. Melalui riset dan wawancara, para korban menceritakan tentang CST yang dialami, dari mulai diajak berhubungan dengan para turis hingga adanya tindak pidana perdagangan orang.

“Tim kami mengungkap bahwa alasan utama dari terjerumusnya anak-anak ini adalah kurangnya kepedulian dari orang tua,” terang mahasiswa jurusan pariwisata Universtias Gadjah Mada tersebut dalam siaran pers dari Humas UGM, Selasa (24/9). Mirisnya, orang tua korban juga belum sepenuhnya memahami terkait kejadian ini.

Baca juga : Di Mabes TNI, Presiden Jokowi Soroti Kejahatan Siber yang Terus Meningkat

Penelitian ini mengambil informasi dari tiga penyintas CST sebagai subjek inti penelitian. Selain itu, informasi juga didapat dari Pentahelix pariwisata yakni pemerintah (dinas terkait), NGO, bisnis wisata, akademisi, dan media yang menjadi subjek.

Selain I Ketut Aditya, tim ini terdiri dari Adit Surya mahasiswa jurusan hukum yang meneliti tentang viktimisasi atau proses timbulnya penyintas CST, Putu Daryatti mahasiswa dari jurusan psikologi yang meneliti tentang trauma yang dialami penyintas, baik secara psikis maupun fisik, dan Ni Luh Feby Riveranika mahasiswa dari jurusan sosiologi yang meneliti tentang proteksi yang dapat dilakukan Pentahelix pariwisata untuk meminimalisir, bahkan menghentikan kasus CST ini.

Adit mengatakan, dari penelitian ini, timnya memperoleh informasi, anak-anak yang diberikan ponsel sedari kecil membuat mereka menjadi lebih bebas dalam mengakses informasi yang seharusnya tidak mereka dapatkan. “Kita menemukan bahwa memang anak-anak ini dibawa ke arah seperti itu oleh orang tuanya, atas dasar kemiskinan, masalah-masalah ekonomi, pendidikan, dan sebagainya,” papar Adit.

Baca juga : Sekolah Vokasi UGM Inovasi Pendeteksi Kerusakan Kereta Api Melalui Getaran

Penegakan Hukum Rendah

Ia menyebut, sebenarnya sudah ada undang-undang yang mengatur perlindungan anak di Indonesia. Undang-undang tersebut mengatur tentang hak-hak anak yang seharusnya dilindungi dari adanya kekerasan seksual, eksploitasi seksual, dan sebagainya. Namun, penegakan atas peraturan ini masih cukup rendah.

“Sejatinya karena eksploitasi seks ini mungkin dalam hukum dikenal dengan istilah aduan, jadi ketika tidak ada aduan, pemerintah itu tidak akan mengetahuinya,” tambah Adit.

Putu Daryatti mengatakan bahwa sang turis yang menjadi pelaku CST dianggap baik oleh orang tuanya sehingga tidak timbul kecurigaan.

Baca juga : APITU Edukasi Soal Menipisnya Lapisan Ozon ke Masyarakat

“Jadi kayak dibiarin tuh anaknya waktu kecil, bawa aja nih main gitu. Terus orangtuanya dikasih uang, tapi kan orang tuanya nggak ngerti anaknya itu dibawa itu mau diapain,” terang dia.

Ni Luh Feby menyebut, penyintas mengalami dampak traumatis secara fisik, seperti sayatan pada kaki hingga penyakit seks menular. Sementara itu, mereka juga mengalami efek traumatis secara psikologi, seperti mimpi distressing, kilas balik, pengindraan yang persisten terhadap stimulus, perubahan kognisi yang negatif, dan perubahan dalam reaktivitas.

“Kami menganalisa menggunakan Diagnostic and Statical Manual (DSM) of Mental Disorders yang berfokus pada PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau trauma yang mereka alami. Kami mendapatkan mereka itu memang mendapatkan trauma dalam beberapa bentuk,” imbuh Feby.

Penelitian ini menyimpulkan tentang perlunya peran berbagai pihak, terutama keluarga dan juga termasuk Pentahelix pariwisata, dalam menciptakan lingkungan yang protektif terhadap anak, lingkungan yang ramah akan anak-anak, demi mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan. Salah satu luaran program mereka bertujuan untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat melalui medium yang lebih luas, termasuk dengan media sosial Instagram, TikTok, maupun Twitter. (Z-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya