PAKAR Teknologi Pangan dan Gizi Universitas Widya Mataram Yogyakarta Prof. Dr. Ir. Ambar Rukmini, MP mengingatkan meski harga kedelai melambung tinggi, mencampur kedelai dengan jagung atau bahan produk pertanian lainnya masih dapat ditoleransi meski kualitas produk tempe tersebut menjadi rendah. Namun, permasalahan menjadi serius ketika untuk membuat tempe, bahan baku kedelai dicampur dengan kertas HVS ataupun kardus bekas.
Menurut Ambar, kasus tempe yang pembuatannya dicampur dengan kertas HVS dan kardus benar nyata dan polisi menemukannya di Jawa Barat awal Maret lalu. Caranya, produsen tempe mengolah kertas HVS bekas dijadikan bubur kertas untuk dicampur dengan kedelai.
"Bubur kertas tersamar oleh jamur hasil fragmentasi dari ragi tempe," kata dia.
Ambar melanjutkan konsumen sedikit sulit untuk mengecek tempe yang dibeli terdapat campuran bahan baku kertas atau tidak karena bubur kertas telah lebur dengan kedelai. Keberadaan kertas, jelasnya, bisa diketahui ketika konsumen memakan tempe yang sudah dimasak.
"Jika tempe dengan bahan baku campuran kertas itu dimakan, tentu saja ada bagian yang tidak dapat dikunyah hingga lembut, yang berasal dari kertas tersebut. Apakah setiap konsumen bisa merasakan itu? Itu hanya bisa dideteksi oleh lidah konsumen yang cermat," tuturnya.
Baca juga: Persagi Dukung Tempe sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO
Dikatakan, kertas maupun karton terbuat dari pulp (serat kayu) diproses ulang menjadi bubur kertas mengalami bleaching (pemucatan) menggunakan bantuan larutan Hidrogen Peroksida atau H202 ditambah pewarnaan dan pencetakan. Unsur Hidrogen Peroksida, lanjutnya, menjadi larutan yang bisa membahayakan kesehatan orang yang mengonsumsi tempe berbahan baku campuran kertas atau karton.
"Hidrogen Peroksida merupakan bahan kimia yang berbahaya jika masuk sistem pencernaan, dapat menyebabkan iritasi atau tukak lambung yang disertai gejala mual, muntah, atau bahkan muntah darah," ungkapnya.
Kedelai Lokal
Menurut dia, produsen tempe memilih alasan kuat mengapa kedelai impor sebagai bahan bakunya karena produk dari negara lain itu lebih mengembang dari kedelai lokal. Setiap kilogram kedelai impor, katanya, dapat mengembang menjadi 1,6-1,8 kilogram, sedangkan kedelai lokal hanya mencapai 1,4-1,5 kilogram.
Para produsen perlu melirik kedelai lokal sebagai bahan baku tempe karena ahli pangan nasional telah menemukan kedelai unggulan. Tim Peneliti Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada sukses mengembangkan Smart Agricultural Enterprise (SAE) untuk kedelai lokal berbasis penerapan IPTEK.
Dikatakan, budi daya kedelai program SAE, per hektare mampu menghasilkan 3,2-4,2 ton, sementara budidaya konvensional, satu hektare lahan menghasilkan 1,4-2,3 ton kedelai.
"Ini bisa dimaknai, ketersediaan kedelai lokal menjadi meningkat tajam dan mampu menekan keberadaan kedelai impor. Maka petani perlu mengalihkan bahan baku kedelai impor ke kedelai lokal," pungkasnya.(OL-5)