Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
MEMASUKI musim kemarau tahun ini, warga Kampung Wololuba, Desa Rendu Wawo, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, kesulitan air bersih. Kondisi ini membuat warga harus berjalan sejauh satu kilo meter untuk mengambil air di embung. Pada pagi dan sore hari, sejumlah ibu dan anak-anak perempuan dan laki-laki terlihat keluar kampung dengan menjinjing jeriken berukuran 5 liter untuk menimba air di embung dekat kampung. Beberapa ibu ada yang menggunakan bere (tempat penampung dari anyaman daun lontar dengan tali gantungan) untuk mengisi dua buah jeriken sehingga bisa memikul lebih.
Mereka harus menuruni jalan menukik melewati sabana menuju embung terdekat. Embung seluas kurang lebih 100 meter persegi menjadi sumber air utama buat warga untuk kebutuhan rumah tangga.
"Kami ambil air di sini (embung) pada pagi dan sore sejak April. Kami ambil untuk masak, minum kalau cuci kami langsung di sini. Kalau ke WC kami langsung ke hutan," kata Lusia Ea yang sedang menimba air di embung, Rabu (24/7).
"Bak di kampung banyak yang rusak tidak bisa tampung banyak lagi," sahut dua ibu Adelina Tei dan Yovita Owa bersamaan.
Kondisi air embung yang keruh tak dihiraukan para ibu dan anak-anak ini. Hewan ternak warga akan singgah dan minum sebentar di embung ini. Beberapa anak biasanya akan langsung mandi atau mencuci muka saat menimba air di embung. Tiara siswi kelas 3 dan Dewi siswi kelas 5 sekolah dasar ini biasa membantu ibu mereka untuk menimba air di embung. Mereka sering terlambat ke sekolah apabila pagi hari harus menimba air di embung.
"Kami pulang sekolah biasa bantu mama ambil air di sini, kalau pagi pasti terlambat ke sekolah," kata mereka berdua serempak.
Tenaga ekstra harus dikeluarkan oleh para ibu dan anak ini ketika pulang kembali ke kampung sambil memikul jeriken penuh berisi air. Beberapa ibu terlihat memikul hingga 3 jeriken. Satu jeriken ditaruh di tas kepala dan dua jeriken lainnya diisi dalam bere diletakkan pada bagian belakang tubuh dengan tali bere digantung pada bagian ubun-ubun. Anak-anak seumuran SD hanya mampu memikul satu jeriken. Ada yang ditaruh pada pundak dan ada yang menjinjing. Keluar dari embung dan berjalan sampai 30 meter, napas sudah mulai terengah-engah. Apalagi sampai kampung mereka, jalan semakin pelan karena kemiringan yang cukup tinggi.
Menurut Kepala desa Rendu Wawo, Teodorus Aru, 36 krisis air melanda seluruh desa yang berjumlah 852 jiwa. Ketika musim hujan warganya masih berharap pada air hujan dengan bak penampung air hujan, namun hanya bertahan satu bulan selepas hujan tak turun lagi. Air embung jauh dari standar kelayakan sehingga banyak anak di desa sering sakit-sakitan. Kekurangan air membuat kondisi sanitasi desa kurang diperhatikan. Beberapa kamar wc terlihat kering tak berisi air.
"Kamar wc kami bisa pakai hanya musim hujan tetapi ketika musim kemarau terpaksa masuk hutan untuk wc, terus kasih bersih (cebok) pakai batu atau daun-daun. Pikul untuk minum masak ke kampung saja susah apalagi untuk kamar wc, makanya bidan (petugas kesehatan) selalu marah karena air wc kosong," kata Teodorus.
Teodorus mengungkapkan kesulitan air sudah terjadi sejak ia masih kecil. Kebutuhan air untuk 44 kepala keluarga atau 209 jiwa di Kampung Wololuba hanya bergantung di embung yang hanya bertahan hingga Oktober. Bila air mulai mengering, warga harus menimba air di Sungai Wasa yang memakan waktu satu jam perjalanan.
"Daripada mati kehausan lebih baik pergi ambil air," timpal Agustina Wea, 32.
baca juga: BPBD Ajak Masyarakat Bali Tingkatkan Kewaspadaan Soal Gempa
Kondisi pada lima embung desa menurut kepala desa sudah sangat dangkal akibat material berupa tanah dan batu yang ikut terbawa masuk ketika musim penghujan. Sedangkan menurut Kepala BPBD Nagekeo, Bernabas Lambar pihaknya hingga kini belum mendapat laporan terkait krisis air bersih dari kepala desa. Soal penangan dampak kekeringan pihaknya kini hanya bisa menunggu bantuan provinsi karena minimnya anggaran di kabupaten. Dan masih menunggu rapat perubahan anggaran untuk pengajuan penanganan dampak kekeringan serta krisis air bersih.
"Kami belum bisa memberi kalau belum ada laporan atau permohonan dari mereka. Sampai sekarang belum ada krisis air bersih. Kalau skalanya kecil mungkin dengan dana yang ada kita bisa pakai seperti pengadaan air bersih dan bahan bakar," ujarnya. (OL-3)
BMKG memperingatkan bahwa cuaca ekstrem masih berpotensi terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, meskipun musim kemarau secara klimatologis telah dimulai.
Di kawasan pegunungan dan dataran tinggi, bahkan pada malam hingga pagi hari suhu udara dapat mencapai di bawah 14 derajat celcius.
Ketidakteraturan atmosfer memicu kemunduran musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia, memunculkan cuaca ekstrem yang terus berlanjut.
BMKG menegaskan fenomena cuaca dingin di Indonesia bukan disebabkan Aphelion, melainkan Monsun Dingin Australia dan musim kemarau.
Di musim kemarun ini, BPBD mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan tidak membuka kebun dengan cara membakar hutan dan lahan.
SEBANYAK 10,25 hektare lahan pertanian di Tanah Datar terdampak kekeringan, dan 5,25 hektare di antaranya sudah dinyatakan puso atau gagal panen.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved