Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
KETUA Komunitas Syiah Sampang Ali Murtadha alias Tajul Muluk, mengeluhkan diskriminasi yang mereka alami dalam Pemilu 2019.
Hal itu dia ungkapkan saat ditemui Media Indonesia di lantai III Rusunawa Puspo Agro, Jemundo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa waktu silam.
Dia menjelaskan, pada Pemilu 2019, mereka terpaksa tidak bisa menggunakan hak pilih secara normal setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan memasukkan mereka yang memiliki hak pilih dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) di Sidoarjo. Dari 89 keluarga, terdapat 224 orang yang terdaftar dalam DPTb.
Akibatnya, sambung Muluk, mereka tidak bisa memilih di tempat tinggal asal di Sampang. Dan mereka tidak bisa memilih lima jenis surat suara (DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI dan hak suara Pilpres) dan harus memilih di Jemundo dengan hanya dua jenis surat suara (DPD RI dan surat suara pilpres.
"Ada hak kami yang hilang di pemilu tahun ini. Bukan hanya tidak bisa lagi menjadi calon anggota legislatif, bahkan memilih merekapun kami tidak lagi bisa," kata Tajul Muluk.
Ia mengaku sudah melakukan upaya agar bisa mengikuti proses pencoblosan di Sampang, atau meskipun tetap mencoblos di Sidoarjo mereka tetap bisa mendapatkan hak memilih lima surat suara.
Seperti, mengadu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Timur pada 15 April. "Memang waktu itu waktu hari H tinggal dua hari. Kami diminta untuk tetap menggunakan hak suara meski hanya pada dua jenis surat suara. Keputusan itu terpaksa kami terima meskipun kami telah kehilangan sebagian hak sebagai warga negara," jelas Tajul.
Persoalan yang dialami Tajul Muluk dan jemaahnya bukan hanya masalah kehilangan sebagian hak pilih. Mereka juga merasa mengalami pembedaan perlakuan dari pemilih lainnya karena harus memilih di tempat pemungutan suara (TPS) yang secara khusus disediakan untuk mereka.
TPS bernomor 21 itu berada di halaman Rusunawa. Pada Selasa 16 April, seluruh penhuni rusunawa, termasuk kelompok Tajul Muluk, mendapat formulir A-5 dengan posisi kolom TPS yang dikosongi.
Kemudian pada hari yang sama, panitia pemungutan suara (PPS) Jemundo membentuk TPS 21 di halaman rusunawa, khusus bagi para pengungsi asal Sampang.
Adapun pemilihan sebelumnya, mereka mengikuti pemungutan suara seperti warga lainnya.
Pada hari pemungutan suara, cerita Tajul, jemaahnya menyatakan keberatan menyalurkan hak pilih di TPS khusus tersebut dan meminta disatukan dengan pemilih lainnya. Alasan mereka, dengan mencoblos di TPS khusus itu, pilihan mereka akan mudah diketahui sehingga tidak ada asas bebas dan rahasia.
"Sekilas TPS khusus itu seperti layanan khusus. Tapi bagi kami itu adalah satu bentuk diskriminasi dan pengabaian atas hak menyalurkan suara secara langsung, bebas, dan rahasia. Jelas suara kami ke mana akan mudah diketahui, terutama untuk pilpres," kata Tajul.
Dengan pertimbangan kepentingan yang lebih besar, jelas ayah dua orang anak itu, sebagian jemaahnya bersedia menyalurkan suara di TPS tersebut, sedang lainnya dengan terpaksa memilih tidak menyalurkan hak suara.
"Kami tidak ingin kondisi ini juga dialami kelompok minoritas lainnya," katanya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sampang, menyatakan tidak menghilangkan hak warga Syiah. Sebab, sebelumnya mereka sudah terdaftar sebagai pemilih di Sampang sebagaimana warga lainnya.
Ketua KPU Sampang Syamsul Muarif mengatakan, pencoretan 224 nama pemilih dari kelompok Syiah dari daftar pemilih tetap (DPT) karena nama mereka sudah terdaftar dalam DPTb di KPU Sidoarjo.
"Nama mereka sudah tercantum di Sidoarjo sebagai pemilih tambahan," kata Syamsul.
Rencana semula, kata dia, KPU akan menyediakan TPS khusus untuk mereka dengan alasan keamanan karena para pengungsi itu berasal dari dua kecamatan berbeda, yakni Kecamatan Omben dan Kecamatan Karangpenang.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU Sampang Faisol Ramadani menilai, KPU kurang maksimal menfasilitasi hak pilih warga Syiah.
Semestinya, lembaga penyelenggara pemilu itu, tetap mengupayakan agar para pengungsi itu bisa menyalurkan hak pilihnya di Sampang, karena itu merupakan bagian dari hak asasi mereka.
Keputusan mencoret nama pengikut Tajul Muluk itu dari DPT di Sampang, menurutnya, adalah keputusan sepihak yang tidak seharusnya terjadi. Para pengungsi itu semestinya diberi kesempatan menyampaikan keinginan dan pendapat berkaitan dengan hak pilih mereka.
"Setidaknya, KPU mendatangi mereka dan membicarakan masalah ini. Jika tidak memungkinkan mencoblos di Sampang, musyawarahkan denga mereka bagaimana baiknya," kata Faisol.
Ia yakin, seandainya 224 orang itu memilih di Sampang, tidak akan ada penolakan. Sebab, warga hanya menolak jika mereka kembali untuk tinggal, beribadah, dan menyebarkan ajaran.
"Saya yakin kalau hanya pulang untuk mencoblos, tidak aka ada penolakan. Asalkan sebelumnya sudah ada sosialisasi," katanya.
Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya Fathul Khoir mengatakan, alasan KPU memasukkan pengungsi Sampang sebagai pemilih kategori DPTb tidak sesuai dengan aturan.
Sebab, administratif, seluruh warga komunitas Syiah asal Sampang yang menempati Rusunawa Jemundo Sidoarjo tetap tercatat sebagai warga Kabupaten Sampang dan telah tercatat sebagai pemilih tetap untuk lokasi TPS di Kabupaten Sampang, sesuai tempat tinggal dalam Kartu Tanda Penduduk elektronik.
"Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dalam Pemilu 2019, DPTb adalah pemilih yang telah terdaftar dalam DPT di suatu TPS yang karena keadaan tertentu pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tersebut dan memberikan suara di TPS lain," kata Fathul Khoir.
Dalam PKPU Nomor 37 Tahun 2018, jelas dia, keadaan tertentu meliputi menjalankan tugas pemerintahan di tempat lain pada hari pemungutan suara, menjalani atau mendampingi keluarga yang rawat inap di rumah sakit atau puskesmas, penyandang disabilitas yang menjalani perawatan di panti sosial/panti rehabilitasi, menjalani masa tahanan di rumah tahanan, karena tugas belajar, pindah domisili atau tertimpa bencana alam.
Sehingga, kata Fathul, warga Syiah Sampang di Jemundo tidak bisa dikategorikan sebagai DPTb dan berhak memilih di lokasi TPS sesuai dengan DPT.
"Kebijakan KPU mengubah status DPT warga Syiah Sampang menjadi DPTb dilakukan secara sepihak, karena warga Syiah Sampang tidak pernah mengambil inisiatif untuk mengubah status DPT mereka menjadi DPTb," katanya.
Baca juga: Warga Syiah Akhirnya Mencoblos di Pengungsian Jemundo
Ia meminta agar KPU melakukan pembenahan mekanisme agar pada pemilu yang akan datang tidak ada lagi hak kaum minoritas yang terabaikan.
Warga Syiah di Kabupaten Sampang ini terusir dari kampung halamannya akibat konflik sosial pada 26 Desember 2012. Kala itu, perkampungan mereka di Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben dan Desa Karang Penang, Sampang, diserang kelompok tertentu. Sebanyak 47 rumah mereka dibakar. (X-15)
KPK menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka suap terkait buronan Harun Masiku. Hasto disebut aktif mengupayakan Harun memenangkan kursi anggota DPR pada Pemilu 2019.
Bagi Mahfud, batalnya memakai kemeja putih tersebut lima tahun lalu menyimpan pesan tersendiri.
KPID Sulawesi Selatan mengaku belum bisa menindak caleg dan parpol yang mulai mencuri start pada Pemilu 2024.
PENDUKUNG Joko Widodo pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 kini berbalik mendukung calon presiden (capres) Prabowo Subianto jelang Pilpres 2024.
Beberapa upaya dari KPU untuk mencegah terjadinya kembali korban jiwa dari petugas KPPS.
"Mas Ganjar kan enggak nyapres, enggak nyapres beliau," kata Immanuel di Jakarta, Minggu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved