Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
SEIRING kemajuan teknologi dan merebaknya media sosial ternyata juga diikuti dengan meningkatnya ujaran kebencian. Situasi itu dikhawatirkan akan membelah bangsa dan mengikis nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang menjadi perekat bangsa Indonesia selama ini. Ujaran kebencian sejatinya juga menjadi pintu masuk perilaku radikal dan terorisme yang telah terbukti merusak dan menghancurkan kehidupan dan peradaban manusia.
Demikian Kepala Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar, seiring pencanangan Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian (International Day for Countering Hate Speech) yang diperingati oleh PBB untuk pertama kalinya pada Sabtu (18/6). Untuk itu ia meminta masyarakat agar menghindari, menjauhi dan menangkal perilaku buruk tersebut.
“Ujaran kebencian menjadi pintu masuk intoleransi, diskriminasi dan kekerasan yang dapat mengarah pada terorisme,” tegas Boy Rafli melalui dalam siaran Sabtu (18/6).
Boy mengatakan meski kian menjadi wacana popular akibat skalanya yang terus naik, ujaran kebencian sebenarnya bukan hal baru. Sejak lama disadari selalu ada unsur-unsur di masyarakat yang melakukan hal tersebut akibat keterbatasan pemikiran atau kurangnya kemampuan menjaga diri. Tetapi seiring kemajuan teknologi komunikasi dan budaya baru media sosial, ujaran kebencian bisa dilakukan dengan massif dan menyentuh masyarakat paling bawah dengan skala luas.
“Akibatnya pun tak lagi bisa diperkirakan. Sebuah ujaran kebencian mungkin saja tidak langsung memantik kerusuhan. Bisa tertahan karena kewaspadaan semua pihak. Namun kebencian yang tercipta sangat mungkin mengendap menjadi bara api yang sewaktu-waktu, pada saat yang paling buruk, bisa memantik api dan meledakkan kerusuhan,” kata Boy.
Karena itu, Boy menegaskan, seharusnya tak ada toleransi untuk ujaran kebencian karena dampaknya yang dapat merusak perdamaian dan pembangunan, menjadi dasar konflik dan ketegangan, dan menjadi sebab terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam skala luas.
Menyoal kritik sebagian kalangan yang memaknai ujaran kebencian sebagai ‘istilah karet’, Boy menegaskan bahwa hal tersebut sama sekali tidak benar. Ia mengutip definisi tegas tentang ujaran kebencian sebagaimana disepakati Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Ujaran kebencian adalah segala jenis komunikasi dalam ucapan, tulisan atau perilaku, yang menyerang atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif dengan mengacu pada seseorang atau kelompok berdasarkan siapa mereka, dengan kata lain, berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin atau faktor identitas lainnya.
“Itu definisi yang jelas dan tidak karet atau bisa dipakai semena-mena hanya untuk alasan pragmatis tertentu,” kata Boy.
Tidak hanya menengarai skalanya yang terus membesar dan meluas, menurut Boy PBB juga telah menyadari bahaya kerusakan yang ditimbulkannya. ”Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, sampai mengatakan bahwa karena ujaran kebencian merupakan bahaya bagi semua orang, maka memeranginya pun harus menjadi tanggung jawab semua orang yang beradab.”
Untuk itu Boy meminta agar semua pihak, termasuk para pendidik, alim ulama, tokoh agama dan tokoh masyarakat, agar segera mengingatkan bahaya ujaran kebencian yang dapat menghasut kekerasan, merusak kohesi sosial dan toleransi, dan menyebabkan kerugian psikologis, emosional, dan fisik bagi siapa pun yang terkena dampak. Hal itu menurutnya bisa dilakukan dengan sedini mungkin menanamkan sikap toleransi, mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya, dalam melawan ujaran kebencian tersebut.
Sebelumnya seiring menguat dan meluasnya ujaran kebencian di seluruh dunia, PBB pada 18 Juni 2019 silam meluncurkan Strategi dan Rencana Aksi PBB tentang Ujaran Kebencian. Setelah serangkaian proses, pada 21 Juli 2021 lalu Majelis Umum PBB berhasil menetapkan resolusi PBB no A/RES/75/309 tentang Mempromosikan dialog dan toleransi antaragama dan antarbudaya dalam melawan ujaran kebencian. Resolusi itu antara lain memutuskan untuk memproklamasikan 18 Juni sebagai Hari Internasional untuk Melawan Ujaran Kebencian, yang diperingati setiap tahun.
Sebagai wujud komitmen, PBB pada Senin (20/6) nanti akan menggelar Pertemuan Tingkat Tinggi informal untuk menandai peringatan pertama hari internasional tersebut, yang berlangsung mulai pukul 10 pagi waktu setempat di Aula Majelis Umum di New York City, Amerika Serikat. (RO/A-1)
INDONESIA mencatatkan nihil kasus serangan terorisme sejak tahun 2023 hingga saat ini, pertengahan tahun 2025. Hal itu disebut berkat peran dari berbagai pihak.
PAKAR terorisme Solahudin menyebut Indonesia saat ini berada di era terbaik dalam penanganan terorisme berkat strategi kolaboratif antara soft approach dan hard approach.
BNPT menyebut seorang perempuan yang sejatinya memiliki nilai keibuan, justru secara sengaja atau tidak sengaja menjadi aktor penting di dalam berbagai peristiwa atau aktivitas terorisme.
Pencegahan tidak hanya dilakukan dari sisi keamanan tapi juga harus bisa memanfaatkan teknologi IT
GURU Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Mirra Noor Milla menyatakan Indonesia berhasil menekan aksi terorisme dengan mencatatkan nol serangan dalam dua tahun terakhir.
Insiden mengerikan terjadi saat perayaan kemenangan Liverpool di Liga Premier Inggris. Ketika sebuah mobil menabrak supporter
POLDA Metro Jaya mengungkap 1.449 kasus kejahatan jalanan sepanjang April hingga Juni 2025. Dari ribuan kasus tersebut terdapat tiga kasus yang menonjol.
TAWUR ialah fenomena kekerasan yang belakangan ini banyak berkembang di kalangan kelompok remaja yang berasal dari sekolah dan wilayah yang berbeda.
Komnas Perempuan mengecam dan menyayangkan mediasi damai dalam kasus kekerasan seksual terhadap N.
MUSISI dan penyiar Gusti Irwan Wibowo atau dikenal dengan Gustiwiw meninggal dunia di penginapan yang berlokasi di Jalan Maribaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2024 telah terjadi 330.097 kasus kekerasan berbasis gender (KBG), meningkat sejumlah 14,17% dibandingkan 2023.
AMNESTY International merilis laporan tahunan 2024 yang mengungkapkan bahwa praktik otoritarian semakin menjangkiti negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved