Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Waduh, Peneliti Ungkap "Generasi Z" Lebih Sulit Bahagia 

Meilani Teniwut
12/4/2024 10:15
Waduh, Peneliti Ungkap
Survei Gallup dan Walton Family Foundation menemukan kebahagiaan generasi Z menurun ketika memasuki usia dewasa. (Freepik)

GENERASI Z menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mencapai kebahagiaan dibandingkan dengan generasi sebelumnya pada usia yang sama, menurut penelitian terbaru. Namun, solusi untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dapat ditemukan dalam temuan tersebut.

Survei yang dilakukan Gallup bersama dengan Walton Family Foundation telah menghimpun data dari lebih dari 2.000 individu Amerika yang termasuk dalam Generasi Z (berusia 12 hingga 26 tahun). Ini merupakan satu dari empat survei yang bertujuan untuk memahami Generasi Z secara menyeluruh, ungkap Zach Hrynowski, peneliti senior di Gallup.

"Tujuan kami adalah untuk menyajikan gambaran yang komprehensif tentang kehidupan Generasi Z, apa yang mereka anggap penting, dan bagaimana mereka merencanakan masa depan mereka," ujarnya.

Baca juga : Sekjen DPR: Minimnya Tingkat Kepercayaan Publik ke DPR Akibat Masyarakat

Dari responden yang disurvei, sekitar 75% melaporkan merasa bahagia, berdasarkan data survei tersebut. Namun, angka kebahagiaan tersebut menurun secara signifikan ketika individu Generasi Z memasuki usia dewasa.

Menurut Hrynowski, individu Generasi Z yang berusia 18-26 tahun cenderung memberikan penilaian yang kurang positif terhadap kehidupan mereka dibandingkan dengan generasi sebelumnya pada rentang usia yang sama. Meskipun tidak ada perbandingan langsung, analisis tersebut menggunakan data survei sebelumnya untuk membandingkan tingkat kebahagiaan Generasi Z dengan pendahulunya.

Dua faktor yang sangat berhubungan dengan tingkat kebahagiaan Generasi Z adalah jumlah waktu yang mereka habiskan untuk istirahat dan relaksasi di akhir pekan, serta tujuan hidup mereka yang lebih besar, tambahnya.

Baca juga : Studi HCC: Orang Indonesia dengan Emotional Eater 2,5 Kali Berisiko Stres

"Kebahagiaan diprediksi oleh rasa bersemangat dalam menjalani hari, serta merasa bahwa pekerjaan atau pendidikan yang dijalani memiliki arti dan relevansi," ungkap Hrynowski.

"Yang penting bagi Generasi Z bukan hanya menghasilkan uang atau meraih prestasi, tetapi juga merasa bahwa hidup mereka memiliki makna dan kontribusi yang signifikan," tambahnya.

Menetapkan Tujuan yang Bermanfaat

Menurut Dr. Chloe Carmichael, seorang psikolog klinis di New York dan penulis buku "Nervous Energy: Harness the Power of Your Anxiety", kebahagiaan bukanlah sekadar mencari emosi positif sebanyak mungkin. Lebih dari itu, kebahagiaan melibatkan menetapkan tujuan yang bermakna dan memahami bahwa tantangan adalah bagian alami dari perjalanan menuju pencapaian tersebut.

Baca juga : Hasil Survei: Debat Bisa Ubah Pilihan Politik Gen Z

Dr. Broderick Sawyer, seorang psikolog klinis di Louisville, Kentucky, menambahkan bahwa tujuan hidup haruslah terkait erat dengan nilai-nilai personal seseorang. Bahkan jika seseorang belum mencapai tujuan tersebut, usaha untuk mengembangkan keterampilan atau mendapatkan pendidikan yang dibutuhkan dapat memberikan rasa tujuan dalam hidup.

"Selama tahun-tahun perkembangan, penting bagi seseorang untuk merasa bahwa mereka sedang menuju ke arah yang dituju, bukan hanya menjalani kehidupan tanpa arah atau hanya memenuhi harapan sosial atau orang tua," jelas Sawyer.

Selain itu, tujuan hidup tidak selalu harus berkaitan dengan karier. Tujuan tersebut juga dapat mencakup hubungan interpersonal atau pencapaian dalam bidang yang didukung secara emosional, tambah Carmichael. Dalam hal ini, tanggung jawab profesional dapat menjadi lebih bermakna karena mereka membantu individu mencapai tujuan hidupnya.

Baca juga : Penelitian HCC: 4 dari 10 Orang di Jabodetabek Alami Kesepian Derajat Sedang dan Berat

Menempatkan Kesehatan sebagai Prioritas Utama

Dr. Rachel Salas, seorang profesor neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins di Baltimore, menegaskan bahwa tidur yang cukup berkaitan erat dengan kesejahteraan mental dan emosional. Tidur yang tidak memadai dapat berdampak negatif pada suasana hati, konsentrasi, dan memori seseorang, serta dapat mempengaruhi interaksi mereka dengan orang lain.

"Prioritaskan tidur yang cukup dengan memutuskan koneksi dengan perangkat elektronik satu jam sebelum tidur, menjauhkan ponsel pintar dari tempat tidur, dan membuat jadwal tidur yang konsisten," saran Salas.

Generasi Z memang memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kesehatan mental dan perawatan kulit, tetapi tidur yang buruk dapat mengakibatkan penampilan yang kurang segar dan perasaan yang tidak nyaman, tambahnya.

"Jika Anda serius tentang kesehatan Anda, jadikan tidur yang cukup sebagai prioritas," pungkasnya. (CNN/Z-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya