Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

KLP Stop Investasi ke Dua Perusahaan Pemasok Alutsista Israel

Khoerun Nadif Rahmat
28/7/2025 08:05
KLP Stop Investasi ke Dua Perusahaan Pemasok Alutsista Israel
Buldoser militer Israel pabrikan CAT (Caterpillar) merobohkan sebuah rumah di kamp pengungsi Palestina Nur Shams, sebelah timur Tulkarem, di Tepi Barat, wilayah yang diduduki Israel.(AFP)

DANA pensiun swasta terbesar di Norwegia, KLP Pension, memutuskan untuk mencoret dua perusahaan raksasa industri pertahanan dari portofolio investasinya. Keputusan itu diambil setelah perusahaan-perusahaan tersebut dinilai memiliki keterlibatan langsung dalam penyediaan perlengkapan militer yang digunakan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam agresi bersenjata di Jalur Gaza.

Dalam pernyataan resmi yang dikutip dari Al Jazeera, Senin (22/7), KLP menyebut dua perusahaan yang dikeluarkan dari daftar investasinya adalah Oshkosh Corporation, produsen kendaraan militer asal Amerika Serikat, dan ThyssenKrupp AG, konglomerat industri asal Jerman yang juga memproduksi kapal perang dan kapal selam.

"Setelah meninjau laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terbit pada Juni 2024, kami menyimpulkan bahwa Oshkosh dan ThyssenKrupp telah melanggar pedoman investasi kami," ujar Kepala Investasi Bertanggung Jawab di KLP Kapitalforvaltning, Kiran Aziz. "Karena itu, kami memutuskan untuk mengecualikan mereka dari portofolio investasi."

Laporan PBB yang dimaksud mengidentifikasi sejumlah perusahaan global yang menyediakan senjata, kendaraan militer, maupun amunisi kepada IDF yang kemudian digunakan dalam operasi militer berskala besar di Gaza, termasuk selama invasi darat pasca serangan 7 Oktober 2023.

Menurut data yang dirilis KLP, hingga pertengahan Juni 2025, dana pensiun tersebut tercatat masih memiliki investasi sebesar US$1,8 juta sekitar Rp29,34 miliar di Oshkosh dan hampir US$1 juta atau sekitar Rp16,3 miliar di ThyssenKrupp. 

KLP menyatakan bahwa mereka telah berkomunikasi langsung dengan kedua perusahaan sebelum mengambil keputusan divestasi. Dalam korespondensi tersebut, Oshkosh mengakui bahwa mereka masih memasok kendaraan militer dan suku cadang yang digunakan oleh Israel. 

Sementara itu, ThyssenKrupp memiliki kontrak jangka panjang dengan militer Israel, termasuk pengiriman empat kapal perang jenis Sa'ar 6 antara 2020 hingga 2021 dan rencana pengiriman kapal selam tambahan pada akhir 2024.

Namun, ketika diminta menyampaikan dokumen uji kelayakan atau due diligence yang membuktikan bahwa produk-produk tersebut tidak digunakan dalam pelanggaran hukum humaniter internasional, kedua perusahaan dinyatakan gagal memenuhi permintaan tersebut.

"Perusahaan-perusahaan memiliki tanggung jawab independen untuk memastikan bahwa mereka tidak berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional," tegas Aziz.

Caterpillar

Kebijakan divestasi KLP ini tidak datang dalam ruang hampa. Selama beberapa tahun terakhir, lembaga ini dikenal konsisten dalam mengedepankan prinsip investasi etis dan bertanggung jawab sosial. Tahun lalu, KLP mencabut investasinya dari Caterpillar Inc., setelah alat berat buatan perusahaan itu digunakan untuk menghancurkan rumah-rumah warga Palestina di wilayah pendudukan.

Pada 2021, KLP juga menarik investasinya dari 16 perusahaan, termasuk Motorola Solutions karena dianggap terlibat dalam pendirian sistem pengawasan di permukiman ilegal di Tepi Barat. Kebijakan serupa juga diterapkan terhadap Adani Ports, perusahaan asal India yang terkait dengan militer Myanmar pascakudeta.

Dalam opini yang ditulis Aziz di Al Jazeera, ia menyatakan bahwa buldoser bersenjata Caterpillar telah digunakan secara sistematis dalam pembongkaran rumah dan infrastruktur warga Palestina. "Mustahil untuk mengatakan bahwa perusahaan tersebut telah mengambil langkah memadai guna mencegah pelanggaran di masa depan," tulisnya.

Langkah KLP menambah tekanan terhadap perusahaan-perusahaan global yang terlibat dalam rantai pasok militer Israel. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai lembaga internasional, termasuk Dewan HAM PBB, organisasi hak asasi manusia, hingga Mahkamah Pidana Internasional (ICC), memperingatkan bahwa dukungan logistik maupun finansial terhadap operasi militer Israel berisiko melanggar hukum internasional.

Komisioner Tinggi HAM PBB serta sejumlah pelapor khusus menyatakan bahwa perusahaan yang secara sadar menjual senjata atau suku cadang kepada negara yang tengah menjalankan operasi militer di wilayah yang diduduki secara ilegal, berpotensi turut bertanggung jawab atas kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pada Mei 2024, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang selama operasi militer di Gaza. Israel menolak tuduhan itu dan bersikeras bahwa semua operasi militernya dilakukan “sesuai dengan hukum internasional”.

Tren Eropa Bergerak

Divestasi oleh KLP sejalan dengan tren lebih luas di Eropa yang menuntut pertanggungjawaban perusahaan dalam konflik kemanusiaan. Dana Kekayaan Negara Norwegia, yang merupakan yang terbesar di dunia dengan aset lebih dari US$1,9 triliun atau sekitar Rp30.970 triliun, telah lebih dahulu mencabut investasinya dari sejumlah perusahaan Israel, seperti Paz Oil dan Bezeq, karena keterlibatan dalam kegiatan bisnis di permukiman ilegal.

Dana Pensiun Nasional Denmark pada Februari 2024 mengumumkan penghentian investasi pada berbagai bank dan perusahaan Israel yang memiliki hubungan dengan aktivitas di wilayah pendudukan. Sementara itu, pada Juni 2024, Universities Superannuation Scheme (USS), dana pensiun universitas terbesar di Inggris, menyatakan akan mengurangi eksposur investasinya di perusahaan yang beroperasi di wilayah konflik Palestina.

Langkah KLP menjadi preseden kuat bagi institusi keuangan dan investor global lain untuk mengevaluasi keterlibatan mereka dalam konflik yang melibatkan pelanggaran hukum internasional. Di tengah meningkatnya kesadaran publik dan kampanye internasional seperti BDS (Boycott, Divestment, Sanctions), tekanan terhadap perusahaan dan pemegang sahamnya untuk bertindak etis terus menguat.

"Pedoman investasi kami melarang investasi pada perusahaan yang menjual senjata kepada negara yang sedang dalam konflik bersenjata dan secara sistematis melanggar hukum humaniter internasional," tegas Aziz.

Sementara itu, upaya hukum sejumlah organisasi hak asasi manusia untuk menghentikan ekspor suku cadang jet tempur dari Inggris ke Israel ditolak oleh Pengadilan Tinggi Inggris dan Wales, Senin (22/7) waktu setempat, dengan alasan bahwa keputusan semacam itu merupakan kewenangan pemerintah, bukan pengadilan.

Gugatan diajukan oleh organisasi HAM Palestina Al-Haq dan kelompok advokasi hukum asal London, Global Legal Action Network (GLAN), dengan dukungan dari Amnesty International, Oxfam, dan Human Rights Watch. Mereka menentang keberlanjutan ekspor komponen jet tempur F-35 ke Israel, yang menurut mereka berpotensi digunakan dalam serangan terhadap warga sipil Gaza.

Namun, dalam putusannya, dua hakim, Stephen Males dan Karen Steyn, menyatakan bahwa pengadilan tidak memiliki wewenang untuk menentukan apakah tindakan Israel di Gaza tergolong genosida atau kejahatan perang. "Isu sensitif dan politis semacam ini adalah urusan eksekutif yang bertanggung jawab kepada parlemen dan rakyat, bukan kewenangan pengadilan," tulis merekasebagaimana dikutip dari The New York Times.

Pemerintah Inggris sebelumnya menangguhkan 30 dari 350 lisensi ekspor senjata ke Israel pada September lalu, menyusul kajian internal yang menyebutkan adanya kemungkinan peralatan tersebut digunakan untuk pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Namun, lisensi untuk komponen dalam program multinasional F-35 tetap dipertahankan, karena dianggap krusial bagi keamanan internasional.

Program F-35, yang dipimpin Amerika Serikat dan melibatkan banyak negara termasuk Israel, menjadi sorotan karena jet tempur canggih tersebut digunakan secara luas dalam kampanye militer Israel di Gaza. Pemerintah Inggris beralasan bahwa keterlibatan dalam program ini vital bagi kepentingan pertahanan nasional.

Dalam persidangan selama empat hari bulan lalu, pengacara penggugat menuduh pemerintah Inggris gagal menjalankan kewajiban internasionalnya, termasuk mencegah genosida dan memastikan kepatuhan terhadap Konvensi Jenewa. Namun pengadilan menyatakan tidak ada bukti bahwa pertimbangan hubungan diplomatik Inggris–AS memengaruhi keputusan untuk melanjutkan ekspor komponen F-35.

Putusan ini dikeluarkan di tengah meningkatnya kritik terhadap negara-negara Eropa terkait ekspor senjata ke Israel, seiring dengan berlanjutnya serangan besar-besaran Israel ke Jalur Gaza yang telah menewaskan lebih dari 56.000 orang, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza. Korban termasuk ribuan anak-anak, meski data tersebut tidak memisahkan antara warga sipil dan kombatan.

Pada hari yang sama, KLP, dana pensiun terbesar di Norwegia, mengumumkan pemutusan investasi dari dua perusahaan pertahanan karena keterlibatan mereka dalam penjualan senjata kepada militer Israel. KLP mengacu pada peringatan Komisaris Tinggi HAM PBB bahwa perusahaan yang menjual senjata kepada Israel berisiko ikut bertanggung jawab atas pelanggaran berat terhadap hukum HAM dan hukum humaniter.

Israel membantah

Militer Israel membantah tuduhan pelanggaran dan menyatakan selalu berupaya mengurangi korban sipil, termasuk melalui pemberitahuan terlebih dahulu sebelum serangan di wilayah padat penduduk.

Inggris sendiri merupakan salah satu eksportir senjata terbesar di dunia, meskipun ekspornya ke Israel relatif kecil dibanding Amerika Serikat. Nilai ekspor senjata Inggris ke Israel pada 2023 tercatat sebesar £18 juta sekitar Rp380 miliar.

Sistem ekspor senjata Inggris mengharuskan perusahaan mengajukan lisensi dan membuktikan bahwa penjualan tersebut tidak melanggar hukum internasional. Menurut pengadilan, sebuah unit pemantau khusus dibentuk oleh pemerintah Inggris pada Oktober 2023 untuk menilai kepatuhan Israel, namun unit itu kesulitan karena keterbatasan informasi dari pemerintah Israel sendiri.

Gugatan semacam ini bukan yang pertama kali diajukan terhadap pemerintah Inggris. Sebelumnya, pemerintah juga menghadapi tantangan hukum terkait ekspor senjata ke Arab Saudi yang digunakan dalam konflik berdarah di Yaman.

Menanggapi keputusan pengadilan, pemerintah Inggris menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan telah dilakukan secara menyeluruh dan sah serta menegaskan bahwa Inggris memiliki salah satu sistem pengawasan ekspor senjata paling ketat di dunia.

"Pemerintah ini terus mendorong gencatan senjata segera di Gaza, pembebasan semua sandera, peningkatan bantuan kemanusiaan, serta membuka jalan menuju perdamaian jangka panjang bagi rakyat Palestina dan Israel," demikian pernyataan resmi yang dirilis seusai putusan. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya