Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Demonstrasi Hong Kong Picu Perpecahan di Keluarga

Melalusa Susthira K
16/9/2019 19:53
Demonstrasi Hong Kong Picu Perpecahan di Keluarga
Pemimpin demonstransi di Hong Kong Joshua Wong(AFP/ MICHELE TANTUSSI )

DEMONSTRASI anti-pememerintah di Hong Kong yang telah berlangsung tiga bulan tidak hanya membuat pusat kota terguncang, tetapi juga memicu jurang perpecahan bagi banyak keluarga di negara tersebut. Demonstran pro-demokrasi dipimpin oleh kaum muda, sedangkan kelompok yang lebih tua tampak lebih condong mendukung pemerintah Tiongkok.

Jane, nama samaran wanita berusia 24 tahun yang ikut dalam aksi unjuk rasa mengaku berbohong selama berminggu-minggu kepada ibunya untuk dapat bergabung dengan para demonstran. Ia kerap mengelabui dengan pergi keluar rumah membawa tas ransel yang dipenuhi dengan buku. Lambat laun, jurang yang tidak dapat diatasi tumbuh di antara antara Jane dan ibunya. Akhirnya Jane terpaksa meninggalkan rumah yang ia tinggali bersama ibunya.

"Setelah setiap habis berkelahi, ibu tidak akan berbicara dengan saya selama seminggu. Flat Hong Kong kecil. Kami hanya dipisahkan oleh satu dinding. Jadi saya harus pergi," ungkap Jane.

 

Baca juga: Fasilitas Minyak Saudi Diserang, Rusia: Jangan Perburuk Situasi!

Hal tersebut merupakan pukulan emosional yang sangat besar bagi Jane yang dibesarkan tunggal oleh ibunya. Jane yang menggambarkan dirinya sebagai seorang moderat, yang bukan berada di garis depan melawan polisi atau yang berbuat kekerasan dalam aksi unjuk rasa, mengaku telah berusaha menjelaskan tujuan gerakan Hong Kong secara lebih demokratis. Namun argumennya tidak diterima oleh ibunya.

"Dia percaya dengan apa yang dikatakan Tiongkok, dia percaya para pengunjuk rasa dibayar oleh orang asing, bahwa semua pengunjuk rasa adalah preman. Dia tidak pernah percaya padaku," keluh Jane.

Tak hanya Jane, pemuda yang menyebut dirinya Chris juga mengaku mendapati jurang dengan keluarganya akibat keputusannya bergabung dalam aksi unjuk rasa menentang RUU Ekstradisi yang meluas menjadi gerakan menuntut reformasi demokrasi tersebut. Ia mengaku hubungan dengan orangtuanya kini menjadi dingin. Bahkan, ia merasa lelah dan putus asa menghadapi pertentangan-pertentangan dengan orangtuanya.

"Pada mulanya, saat makan kita akan diam-diaman. Itu sangat menyedihkan, sehingga sekarang saya tidak akan pulang sampai saya tahu orangtua saya sudah di tempat tidur," imbuh Chris, yang baru saja menjadi sarjana dan memulai pekerjaan di sebuah bank terkemuka.

Sedangkan, Julia, pelajar berusia 19 tahun yang kerap berhadapan dengan polisi huru-hari di garis depan demonstrasi, mengaku mendapat ancaman potongan dukungan finansial dari orangtuanya. Ia pun akhirnya hanya bergantung pada pekerjaan paruh waktu disela studinya saat ini.

"Mereka melakukan pemerasan mental terhadap saya, akhirnya saya merobek kartu kredit begitu saja dan mulai berbohong tentang segalanya," ujarnya Julia.

Penelitian yang telah dilakukan oleh para akademisi menunjukkan bahwa 50% dari mereka yang berunjuk rasa berusia antara 20 dan 30 tahun, sebanyak 77 % di antaranya mengenyam pendidikan tinggi. Sedangkan, menurut menurut jajak pendapat oleh University of Hong Kong, jumlah penduduk Hong Kong yang dengan bangga menyebut diri mereka sebagai warga negara Tiongkok tercatat rendah, yakni hanya 27 %. Di antara jumlah tersebut, hanya 10 % penduduk Hong Kong berusia 18-29 tahun yang bangga menyebut sebagai warga negara Tiongkok.

Meskipun demonstrasi pro-demokrasi lintas usia dan generasi, tapi pengunjuk rasa yang lebih muda mengaku kerap berselisih ideologis dengan orang tua atau kerabat mereka yang lebih tua. Kelompok yang lebih tua tersebut berpikir Hong Kong telah mengalami kemajuan pesat sejak dikembalikan ke Tiongkok oleh Inggris pada 1997. Sebagain dari mereka merasa khawatir dengan ancaman para pemimpin otoriter Tiongkok jika demonstrasi berkecamuk, sehingga memilih mengambil sikap mendukung pemerintah.

Adapun, demonstrasi pro-Beijing yang terjadi dengan skala lebih kecil di Hong Kong, yang kerap mengibarkan bendera nasional Tiongkok, umumnya menampilkan demografi pengunjuk rasa yang lebih tua. (AFP/OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik