Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Trauma Anak Migran di Kamp Tahanan AS

(AFP/The Guardian/ Haufan Hasyim Salengke/X-11)
06/9/2019 01:40
Trauma Anak Migran di Kamp Tahanan AS
Anak-anak bagian dari karavan migran Amerika Tengah berkemah di dekat tempat penampungan sementara beberapa meter dari perbatasan AS-Meksiko(. (Photo by Guillermo Arias / AFP))

Bocah-bocah yang kehilangan harapan itu tidak bisa berhenti menangis. Mereka mengalami trauma begitu parah sehingga dokter khawatir tentang kesehatan mental mereka. Pemandangan itu hanya beberapa temuan yang terungkap dalam laporan tentang kesehatan mental anak-anak migran di tahanan pemerintah Amerika Serikat.

Laporan tersebut, yang disusun Petugas Inspektur Jenderal Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan dan dirilis pada Rabu (4/9) menyoroti kebijakan administrasi Presiden Donald Trump.

Terutama kebijakan 'toleransi nol' yang membawa malapetaka karena mengakibatkan pemisahan ribuan anak-anak migran dari keluarga mereka. Kebijakan itu memperburuk krisis kesehatan mental di antara mereka yang dirawat di Kantor Permukiman Kembali Pengungsi. Anak-anak migran yang dipisahkan dari orangtua mereka oleh pemerintahan Trump di perbatasan AS-Meksiko itu mengalami peningkatan trauma dan stres pascatrauma.

Seorang direktur program menggambarkan ada seorang anak lelaki berusia 7 atau 8 tahun yang terpisah dari ayahnya merasa yakin bahwa ayahnya telah dibunuh dan percaya dia juga akan dibunuh. Bocah itu memerlukan perawatan psikiatri darurat. Ia terpisah dari ayahnya di perbatasan Amerika Serikat-Meksiko tahun lalu.

Sementara itu, anak-anak lain percaya orangtua mereka telah meninggalkan mereka. Dan beberapa anak menderita gejala fisik karena trauma mental.

Seorang dokter mengatakan, ungkapan gejala-gejala fisik yang dirasakan anak-anak itu merupakan manifestasi dari rasa sakit psikologis.

Proses reunifikasi yang kacau juga menambah cobaan mereka. Beberapa anak menangis, lainnya marah dan bingung.

"Anak-anak lain mengungkapkan perasaan takut atau bersalah dan menjadi peduli akan kesejahteraan orangtua mereka," menurut laporan itu.

Psikiater anak, Dr Gilbert Kliman, yang mewawancarai puluhan anak migran di tempat penampungan setelah kebijakan toleransi nol berlaku, mengatakan anak-anak itu dapat melanjutkan kehidupan mereka setelah bersatu kembali dengan orangtua, tetapi mungkin tidak pernah bisa mengatasi pengalaman buruk mereka. Ia juga menyarankan untuk menciptakan pilihan perawatan kesehatan mental yang lebih baik. (AFP/The Guardian/ Haufan Hasyim Salengke/X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik