Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Legislator Sampai Menangis Dengar Fadli Zon Persoalkan Istilah Massal dalam Kasus Mei 1998

Despian Nurhidayat
03/7/2025 08:24
Legislator Sampai Menangis Dengar Fadli Zon Persoalkan Istilah Massal dalam Kasus Mei 1998
Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat ditemui media di Gedung Nusantara 1 Kompeks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025)(ANTARA/Fitra Ashari.)

ADA yang menarik dalam pelaksanaan Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Kementerian Kebudayaan. Agenda yang seharusnya membicarakan mengenai anggaran Kementerian Kebudayaan tersebut berubah menjadi pembahasan mengenai kejadian perkosaan massal Mei 1998. 

Bahkan, dalam kesempatan itu Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P My Esti Wijayati, dan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P Mercy Chriesty Barends, menangis saat mendengar Menteri Kebudayaan Fadli Zon tetap mempertanyakan penggunaan diksi “massal” dalam kasus pemerkosaan 1998. 

Saat itu, ketika Fadli Zon menjelaskan tentang istilah massal dalam kasus Mei 1998 dan membandingkannya dengan kasus kekerasan seksual massal di Nanjing dan Bosnia, My Esti langsung menginterupsi. 

“(Mendengar) Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan. Mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta, sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari,” kata My Esti kemarin. 

Menurutnya, penjelasan Fadli Zon yang teoretis dan tak menunjukkan kepekaan justru menambah luka bagi mereka yang menyaksikan dan mengalami langsung situasi mencekam pada masa itu. 

“Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan. Sehingga menurut saya, penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini, dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu, itu justru akan semakin membuat luka dalam,” ujar dia. 

Fadli pun menyela pernyataan Esti dan menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal peristiwa tersebut. “Terjadi, Bu. Saya mengakui,” ucap Fadli. 

Namun, respons itu tidak cukup meredam emosi My Esti, yang kembali menegaskan bahwa penjelasan Fadli justru mengesankan keraguan penderitaan para korban. “Itu yang kemudian Bapak seolah-olah mengatakan...” ucap My Esti, sebelum kembali terdiam karena emosi. 

Wakil Ketua Komisi X dari Fraksi PKB Lalu Hadrian Irfani, mencoba menengahi perdebatan dengan menjelaskan bahwa Fadli mengakui adanya peristiwa pemerkosaan, namun mempertanyakan istilah “massal”.

“Jadi, tadi Pak Fadli Zon sudah menjelaskan bahwa beliau sebenarnya mengakui perkosaan itu ada, tetapi ada diksi ‘massal’ itu yang beliau pertanyakan,” kata Lalu. 

Setelahnya, Mercy pun ikut bersuara sambil menangis. Dia menyampaikan betapa menyakitkannya menyaksikan negara seolah kesulitan mengakui sejarah kelam, padahal data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi. 

“Pak, saya ingin kita mengingat sejarah kasus Tribunal Court Jugun Ianfu. Begitu banyak perempuan Indonesia yang diperkosa dan menjadi rampasan perang pada saat Jepang. Pada saat dibawa ke Tribunal Court ada kasus, tapi tidak semua, apa yang terjadi? Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua,” tutur Mercy. 

“Ini pemerintah Jepang, duta besarnya itu sampai begini terhadap kasus Jugun Ianfu. Kita paksa sendiri. Kenapa begitu berat menerima ini? Ini kalau saya bicara, ini kita sakit, Pak. Saya termasuk bagian juga yang ikut mendata itu testimoni, testimoni sangat menyakitkan kita bawa itu testimoni dalam desingan peluru,” sambung dia. 

Mercy juga menyinggung kesaksian para korban kekerasan seksual dari Maluku, Papua, dan Aceh yang didokumentasikan setelah 1998. Menurut dia, pengakuan atas peristiwa-peristiwa itu tidak bisa dibatasi pada perdebatan definisi atau diksi semata. 

“Bapak bilang TSM (terstruktur, sistematis, dan masif). Bapak bilang tidak terima yang massal. Pak, kebetulan sebagian besar itu satu etnis. Kita tidak ingin membuka sejarah kelam, tapi ini satu etnis,” tegas Mercy. 

“Bapak bisa baca itu testimoni yang kami bawa. Ini minta maaf sekali, sangat terganggu, apa susahnya menyampaikan? Satu kasus saja sudah banyak, lebih dari satu kasus tidak manusiawi. Minta maaf!” seru Mercy. 

Mendengar luapan emosi tersebut, Fadli pun menyampaikan permintaan maaf jika penjelasannya dianggap tidak sensitif. “Saya minta maaf kalau ini terkait dengan insensitivitas, dianggap insensitif. Tapi saya, sekali lagi, dalam posisi yang mengutuk dan mengecam itu juga,” ucap Fadli. 

Dia menegaskan tidak bermaksud mereduksi atau menegasikan peristiwa kekerasan seksual pada 1998. Namun, dia menekankan pentingnya pendokumentasian yang akurat dan ketelitian dalam penggunaan istilah massal. 

“Saya kira tidak ada maksud-maksud lain dan tidak sama sekali mengucilkan atau mereduksi, apalagi menegasikannya,” kata Fadli. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik