Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Keseringan Scroll Media Sosial Berisiko Kena Brain Rot, Ini Ciri-Cirinya

Ihfa Firdausya
22/6/2025 10:30
Keseringan Scroll Media Sosial Berisiko Kena Brain Rot, Ini Ciri-Cirinya
ilustrasi(freepik)

BRAIN rot atau pembusukan/kerusakan otak merupakan istilah untuk menggambarkan terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk scrolling media sosial. Terutama untuk melihat konten receh.

Walaupun risiko brain rot pada aktivitas itu belum diteliti secara komprehensif, sejumlah ahli menyebut beberapa alasan nyata untuk khawatir perihal waktu layar (screen time) yang berlebihan. Hal itu terutama berlaku untuk remaja dan anak-anak yang otaknya masih berkembang.

"Masalah utamanya berkaitan dengan anak-anak karena perkembangan otak membutuhkan keragaman paparan,” kata Dr Costantino Iadecola, ketua Feil Family Brain and Mind Research Institute dan ahli saraf di Weill Cornell Medicine, dilansir dari Today, Minggu (22/6).

Menurutnya, terlalu banyak waktu di depan layar dengan mengorbankan partisipasi dalam aktivitas lain selama periode kritis perkembangan ini dapat sangat berdampak negatif pada anak-anak dan remaja. Hal itu berisiko membuat mereka rentan terhadap kecemasan dan depresi.

Menurut Oxford University Press, brain rot mengacu pada kemerosotan kondisi mental atau intelektual seseorang akibat terlalu banyak mengonsumsi konten yang "sepele atau tidak menantang". Istilah tersebut, yang terpilih sebagai Oxford Word of the Year pada 2024, juga dapat merujuk pada konten yang cenderung menyebabkan kemerosotan tersebut.

Akibat terlalu banyak waktu menonton layar, kerusakan otak dapat dikaitkan dengan gejala seperti kabut otak, kelelahan, rentang perhatian berkurang, dan ketidakmampuan mengatur diri sendiri.

"Orang-orang dapat membicarakan (kerusakan otak) dalam konteks seperti, 'Oh, konten itu sangat buruk. Saya tidak percaya Anda menontonnya karena itu akan merusak otak Anda,'" kata Marci Cottingham, Ph.D., profesor madya sosiologi di Kenyon College.

“Atau dapat menimbulkan perasaan, ‘Saya mengalami perasaan ini setelah berjam-jam menonton TikTok," kata Cottingham, yang karyanya telah meneliti peran neo-emosi seperti doomscrolling.

Salah satu dari sedikit penelitian yang ada, diterbitkan awal tahun ini di Brain Sciences, mengidentifikasi tiga faktor yang mungkin berkontribusi terhadap brain rot, yakni waktu layar yang berlebihan, kecanduan media sosial, dan kelebihan beban kognitif.

Akibatnya, orang mungkin mengalami perubahan fungsi kognitif. Secara khusus, mereka mungkin mengalami gangguan memori atau gangguan memori jangka pendek, ketidakmampuan untuk fokus, rentang perhatian yang berkurang, impulsif, dan preferensi untuk kepuasan instan.

Dalam beberapa hal, brain rot terdengar sangat mirip dengan kelelahan, yang keduanya memiliki ciri-ciri depresi dan gangguan fungsi eksekutif. Bagi banyak orang, gejala brain rot kemungkinan bersifat situasional atau berubah dari hari ke hari, jam ke jam. Namun, bagi sebagian orang, tanda-tanda kerusakan otak dapat menjadi bagian dari masalah klinis, seperti dalam konteks ADHD.

Meskipun ada kekhawatiran nyata tentang waktu layar dan penggunaan media sosial di kalangan anak-anak dan remaja, kata Iadecola, penting juga untuk menyadari bahwa perilaku brain rot mungkin merupakan akibat, bukan penyebab, dari masalah kesehatan mental atau masalah perhatian.

Misalnya, seorang remaja yang sudah memiliki gejala depresi atau kecemasan mungkin lebih cenderung mengalami penggunaan media sosial yang bermasalah, misalnya. Atau, jika Anda seseorang yang sudah mengalami kesulitan fokus, konten media sosial mungkin lebih menarik bagi Anda dan memperburuk masalah tersebut.

Jika Anda khawatir tentang penggunaan media sosial oleh anak Anda atau diri Anda sendiri, penulis studi Brain Science menyarankan beberapa cara konkret untuk mengurangi kerusakan otak, terutama untuk anak-anak dan remaja.

  • Pantau dan atur waktu penggunaan layar.
  •  Kelola media sosial di lingkungan yang lebih positif secara emosional.
  • Sertakan aktivitas nondigital, seperti menghabiskan waktu di luar ruangan, menulis, dan bermain musik.
  • Bangun dukungan sosial dan keterlibatan masyarakat melalui aktivitas kelompok, misalnya.

Untuk orang dewasa, Iadecola menyarankan untuk menganggap kebusukan otak dan waktu menonton layar sebagai kecanduan. Misalnya, jika Anda mendapati diri Anda menggulir TikTok tanpa sadar sebelum tidur, Anda mungkin menyadari bahwa tidur Anda terganggu.

Ia menyarankan untuk mencatat waktu menonton layar, memperhatikan saat-saat ketika layar tidak produktif, dan mengganti kebiasaan tersebut dengan sesuatu yang lebih menarik, khususnya membaca buku yang disebutnya sebagai anti-internet. (H-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya