Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

DPR: Perkosaan Massal 98, Tragedi Kelam yang Tidak Bisa Dihapuskan

M Iqbal Al Machmudi
18/6/2025 09:38
DPR: Perkosaan Massal 98, Tragedi Kelam yang Tidak Bisa Dihapuskan
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani.(ANTARA/Nur Imansyah)

WAKIL Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian menegaskan tragedi perkosaan massal yang terjadi pada tahun 1998 tidak bisa ditutup atau dihapuskan. Upaya menutupi tragedi kelam itu tidak akan menyembuhkan luka para korban maupun keluarga korban.

Apalagi adanya pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada perkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 seperti menabur garam di atas luka. Pernyataan tersebut berpotensi melukai hati para korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.

 "Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah," kata Lalu Hadrian dalam keterangannya, Rabu (18/6).

Diketahui dalam sebuah wawancara dengan media, Fadli Zon menyatakan soal tak ada pemerkosaan massal di tahun 1998. Fadli menyatakan tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal, dalam peristiwa 1998.

 Fadli juga mengklaim informasi tersebut hanya rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah. Ia menyebut pemerintah akan menulis revisi sejarah Indonesia dengan nuansa positif demi menghindari perpecahan dan mempererat persatuan bangsa. Atas pernyataan tersebut Fadli menuai kontroversi.

Terkait hal itu, Lalu Hadrian menekankan bahwa tragedi 1998 merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa yang menyimpan luka mendalam, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual. Menurutnya, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.

 "Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan," ujar Lalu Hadrian.

Penyangkalan terhadap fakta terjadinya kekerasan seksual dalam insiden 1998, sama saja dengan merendahkan martabat para korban dan menghambat proses pemulihan serta rekonsiliasi yang seharusnya terus diberikan.

 "Menutupinya maka sama saja kita merendahkan martabat para korban dan tidak membuka ruang untuk pemulihan nama baik mereka," tegas Legislator dari Dapil Nusa Tenggara Barat II itu.

Sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan. Ia menegaskan sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif bukan untuk menyenangkan penguasa. Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis. (H-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya