Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Fadli Zon Dianggap Mendiskreditken Kerja TGPF dan Berupaya Membelokkan Sejarah

Devi Harahap
15/6/2025 15:18
Fadli Zon Dianggap Mendiskreditken Kerja TGPF dan Berupaya Membelokkan Sejarah
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon(MI/Usman Iskandar)

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu, mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, yang mengaburkan fakta sejarah terkait adanya kasus pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998. 

“Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998,” kata perwakilan koalisi, Usman Hamid dalam keterangannya pada Minggu (15/6).

Menurut Usman, Pernyataan Fadli Zon menunjukan sikap nir-empati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban. Ia dinilai telah gagal dalam memahami kekhususan dari kekerasan seksual dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terlebih lagi ada kecenderungan secara sengaja menyasar pihak yang dijadikan korban, yaitu perempuan Tionghoa.

“Mengecam dan menolak keras pernyataan Fadli Zon yang menyangkal adanya kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 serta menyebutnya sebagai rumor. Pernyataan ini mencederai upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban serta berpotensi melanggengkan budaya impunitas,” ungkapnya. 

Pernyataan Fadli Zon tersebut dinilai mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah melakukan pendokumentasian dan penyelidikan atas peristiwa Mei 1998, dengan kekerasan seksual sebagai bagian dari peristiwa tersebut.

Usman menjelaskan, proyek penulisan ulang sejarah yang tengah dipimpin oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan juga dinilai akan menyingkirkan narasi penting tentang pelanggaran berat HAM dari ruang publik. 

“Ironisnya, alih-alih mempertanyakan absennya cerita tentang kekerasan Mei 1998 dalam buku sejarah, Fadli Zon sebagai Menteri seharusnya memastikan bahwa kasus-kasus ini dimuat secara jujur dan adil, serta berpihak pada suara korban. Pengosongan narasi ini justru memperdalam ketidakadilan dan pengabaian terhadap hak-hak korban,” tukasnya. 

Padahal, lanjut Usman, laporan akhir TGPF mencatat adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam Peristiwa Mei 1998, dibagi dalam beberapa kategori. 

“Perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual yang terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha,” jelasnya.

Ia menjelaskan terdapat 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual yang diperoleh dari sejumlah bukti baik keterangan korban, keluarga korban, saksi mata, saksi lainnya (perawat, psikiater, psikolog, pendamping, rohaniawan), hingga keterangan dokter. 

Selain itu, TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah Peristiwa Mei 1998. Dalam kunjungan ke daerah Medan, TGPF juga mendapatkan laporan tentang ratusan korban pelecehan seksual yang terjadi pada tanggal 4–8 Mei 1998. 

“Setelah Peristiwa Mei tersebut, juga diikuti dengan 2 (dua) kasus terjadi di Jakarta tanggal 2 Juli 1998 dan 2 (dua) kasus terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli 1998,” jelas Usman. 

Lebih lanjut, TGPF menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, yang mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. 

Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya, menemukan bahwa ada kesengajaan untuk menyasar perempuan beretnis Tionghoa, yang pada saat itu dikonstruksikan sebagai kambing hitam akibat krisis moneter di Indonesia. 

“Kesengajaan ini tampak dari adanya kesaksian salah satu perempuan yang tidak jadi diperkosa karena ibunya yang ‘pribumi’ berhasil meyakinkan para pelaku bahwa ia adalah anaknya,” ungkap Usman. 

Meskipun temuan ini telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk proses hukum lebih lanjut, hingga kini tidak ada penyelesaian hukum yang memadai di tingkat penyidikan hingga proses pengadilan. 

“Namun fakta memilukannya adalah hingga saat ini kasus tersebut tidak pernah tuntas. Tidak pernah ada pengungkapan kebenaran, kepastian bahkan keadilan baik dalam peristiwa ini,” tutur Usman. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya