Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Soal Tragedi Mei 1998 Dalam Penulisan Ulang Sejarah, Pemerintah Disarankan Minta Masukan Eks TGPF dan Penyintas Kasus

Syarief Oebaidillah
16/6/2025 20:48
Soal Tragedi Mei 1998 Dalam Penulisan Ulang Sejarah, Pemerintah Disarankan Minta Masukan Eks TGPF dan Penyintas  Kasus
Serian Wijatno(Dok Pribadi)

Akademisi dan pemerhati sosial kemasyarakatan Dr. H. Serian Wijatno menyarankan pemerintah dan tim penyusun ulang sejarah nasional bisa meminta masukan dari eks Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus kerusuhan Mei 1998 dan penyintas kasus kerusuhan tersebut. "Sehingga persoalan apakah ada pemerkosaan atau tidak dalam peristiwa itu dapat terjawab," kata Serian Wijatno dalam keterangannya di Jakarta kemarin.

Ia mengemukakan hal itu terkait adanya pernyataan bahwa kasus pemerkosaan dalam kerusuhan itu hanyalah rumor. "Kita tentu sangat setuju dengan alasan dan tujuan penulisan ulang sejarah nasional yang nanti akan diterbitkan menjadi buku sejarah. Namun saya terkesan dengan pernyataan Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian saat rapat kerja dengan Menteri Kebudayaan tentang rencana penulisan ulang buku sejarah, di mana beliau menekankan pentingnya proses penulisan yang inklusif dan transparan. Kalau kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti  kata  "transparan"  jika ditinjau dari makna kiasan berarti adalah keterbukaan, kejujuran, dan kejelasan dalam suatu proses atau informasi. Hal ini berarti tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan," papar Serian.

Tapi sayangnya, kata dia, dalam rencana penulisan ulang sejarah inilah point  "transparansi"  seperti terlupakan, khususnya ketika membahas tentang peristiwa menjelang era reformasi yang meninggalkan catatan buruk sejarah perjalanan negeri ini dengan terjadinya aksi kerusuhan yang kemudian dikenal dengan peristiwa "Tragedi Mei 1998".

Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu titik gelap dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kerusuhan yang melanda berbagai kota besar bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga trauma sosial yang mendalam. Di tengah kekacauan itu, terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan.

Peristiwa sedih itu tercatat dalam laporan Tim Gabungan Pencari  Fakta (TGPF) yang dibentuk bersama pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan Mei 1998. Tapi tampaknya fakta itu tidak diperhatikan dalam penyusunan ulang buku sejarah kita.

Serian mengungkapkan seperti dikutip kompas.com (13/6/2025), menurut Menteri Kebudayaan Fadli Zon, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998. "Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025). 

Pernyataan Fadli Zon itu tampaknya patut mendapat perhatian serius. Semoga saja bukan sinyal bahwa  fakta tahun 1998 itu tak masuk dalam catatan ulang sejarah yang akan ditulis. Padahal, sekali lagi, penulisan sejarah harus transparan.

Hemat dia, penulisan ulang itu di back up oleh puluhan sejarawan tentu kita semua pasti mengapresiasi. Tapi untuk sejarah kasus kerusuhan 1998 ini, selain karena jarak waktunya belum terlalu lama, maka tim penyusun dan pemerintah selain bisa mengandalkan sejarawan bisa juga melibatkan atau meminta masukan juga dari tokoh-tokoh yang duduk dalam TGPF Tragedi Mei 1998 seperti KH. Said Aqil Siradj, Bambang Wijayanto, Dai Bachtiar dan tokoh lainnya. Bahkan tak sedikit penyintasnya yang masih hidup untuk diambil kesaksiannya. Sehingga akan memperkaya perspektif.

Kenapa hal ini perlu diperhatikan? Menurut Serian yang juga Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa Indonesia ( PITI) ini tentu semata-mata demi penulisan sejarah yang benar-benar transparan. Karena ini adalah bagian sejarah Indonesia yang harus dipahami generasi muda. Tidak ada maksud tertentu. Apalagi untuk menyudutkan kelompok atau pihak lain. "Justru kalau ini tidak dibuka secara transparan malah akan menimbulkan kecurigaan, sementara peristiwanya sendiri sudah mendunia," tukasnya.

Serian mengingatkan, kita tidak ingin disebut sebagai yang gagal dalam membangun politik ingatan yang sehat. Politik ingatan adalah cara suatu bangsa mengingat dan menafsirkan masa lalunya. Kita juga tidak mau sejarah dijadikan medan tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek. Tragedi yang seharusnya menjadi pengingat bersama justru direduksi menjadi wacana yang dipertentangkan, bukan dimaknai secara jernih

Dengkan bersikap transparan dalam menulis ulang sejarah, bukan untuk mencaci, melainkan untuk mengingatkan bahwa kebenaran tidak boleh disangkal hanya karena tidak nyaman. Sebaliknya, itu adalah bentuk tanggung jawab moral untuk membuka ruang penyembuhan bagi mereka yang telah lama diam karena takut dan terluka.

Dikatakan luka tidak akan pernah sembuh jika terus dianggap tidak ada. Trauma tidak akan pernah reda jika terus dianggap ilusi. Dan keadilan tidak akan pernah terwujud jika suara korban terus dibungkam.
Ia menukas para penyintas kekerasan seksual 1998 tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin satu hal: kejujuran. Kejujuran bahwa yang mereka alami itu nyata. Dan bahwa bangsa ini cukup dewasa untuk mengakui kesalahan masa lalunya.(H-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya