Headline

Pemerintah tidak cabut IUP PT Gag Nikel.

Fokus

Pemanfaatan digitalisasi dilakukan untuk mempromosikan destinasi wisata dan meningkatkan pengalaman wisatawan.

Penolakan Tambang Nikel di Raja Ampat Meluas: Suara Lantang dari Pesohor, Wisatawan hingga Tokoh Agama

Akmal Fauzi
10/6/2025 11:35
Penolakan Tambang Nikel di Raja Ampat Meluas: Suara Lantang dari Pesohor, Wisatawan hingga Tokoh Agama
Pekerja mengambil gambar di lokasi terbuka penambangan yang sementara berhenti beroperasi di Pulau Gag Distrik Waigeo Barat Kepulauan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Minggu (8/6/2025).(ANTARA FOTO/Olha Mulalinda)

PENOLAKAN terhadap tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, terus menggema dari berbagai penjuru. Pemerintah sebagai pemberi izin operasi diminta bertanggung jawab sebelum kerusakan lingkungan dan dampak sosial semakin meluas. Selama ini, Raja Ampat dikenal sebagai destinasi wisata berkelanjutan yang mampu menyumbang pendapatan bagi daerah. Kini, citra itu terancam. Bukan hanya aktivis, kritikan juga datang dari pesohor, pelaku usaha wisata, akademisi, hingga pemuka agama.

Berikut ini pernyataan-pernyataan mereka yang menolak dan mengkritisi soal tambang nikel di Raja Ampat. 

Tagar #SaveRajaAmpat Digaungkan Akitivis hingga Pesohor

Tagar #SaveRajaAmpat ramai digaungkan di media sosial sejak pekan lalu. Hingga kini, tagar ini masih terus digunakan oleh warganet sebagai bentuk kepedulian terhadap ancaman eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Bersama tagar #SavePapua, kampanye ini menjadi simbol perlawanan terhadap kerusakan alam di wilayah yang dikenal sebagai salah satu surga terakhir di bumi, "The Last Paradise."

Kecemasan ini tak hanya dirasakan masyarakat umum, tapi juga direspons sejumlah pesohor Tanah Air. Sejumlah nama seperti Denny Sumargo, Nana Mirdad, Amanda Rawles, Revti Ayu Natasya, Prilly Latuconsina, Kirana Larasati, Aline Andita, Lukman Sardi, Vicky Nitinegoro, Bunga Jelita, Syamsir Alam, Atta Halilintar, Della Dartyan, hingga Nadine Candrawinata, menyuarakan dukungan mereka lewat unggahan di media sosial.

Organisasi lingkungan Greenpeace turut menggaungkan kampanye yang sama. Dalam unggahan Instagram @greenpeaceid, mereka menampilkan visual bertuliskan #SaveRajaAmpat sambil menyoroti "biaya sesungguhnya" dari tambang nikel.

“The Last Paradise: Satu per satu keindahan alam Indonesia dirusak dan dihancurkan hanya demi kepentingan sesaat dan golongan oligarki serakah. Pemerintah harus bertanggung jawab atas kehancuran alam yang semakin hari semakin marak terjadi,” demikian tertulis di akun @greenpeaceid.

Keresahan Pelaku Wisata

Meskipun Pulau Gag, lokasi tambang nikel, berada sekitar 40 kilometer dari Pulau Piaynemo, salah satu ikon wisata Raja Ampat, keresahan warga dan pelaku wisata tetap membuncah.

Dikutip Antara, Joshias, seorang pelaku wisata lokal, mengaku cemas bukan hanya soal potensi pencemaran laut, tapi juga pada efek domino yang mungkin terjadi. Ia khawatir, keberhasilan proyek tambang di Pulau Gag bisa membuka jalan bagi eksplorasi di pulau-pulau lain.

Kalau pulau-pulau di sekitar Piaynemo ikut dijadikan tambang, maka tidak ada lagi lautan jernih yang menjadi daya pikat gugusan kepulauan tersebut.

Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Aktivitas eksplorasi mulai terlihat di Pulau Batang Pele, yang jaraknya hanya sekitar 30 km dari Piaynemo, lebih dekat 10 km dibandingkan Pulau Gag. Hal ini memicu reaksi keras dari masyarakat dan pengusaha wisata, termasuk Timothius Mambraku, pemilik penginapan di Pulau Manyaifun, yang lokasinya berdekatan dengan Batang Pele.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) seluas 2.193 hektare di Pulau Batang Pele melalui SK Bupati Raja Ampat No. 153.A Tahun 2013. Izin ini berlaku selama 20 tahun hingga Februari 2033. Meski masih dalam tahap eksplorasi dan belum memiliki dokumen lingkungan, kekhawatiran terhadap dampaknya sudah terasa.

Timothius bersama rekan-rekan pengusahanya di Manyaifun betul-betul menolak pertambangan nikel di Batang Pele, sebab merugikan Manyaifun sebagai destinasi para wisatawan menginap.

Walhi: Kekayaan Hayati Dunia Terancam

Manajer Kampanye Hutan dan Pertanian Walhi, Uli Artha Siagian, menyebut tambang nikel di Raja Ampat sebagai cerminan buruk eksploitasi pulau-pulau kecil di Indonesia.

“Dalam konteks Raja Ampat, pertambangan nikel itu kemudian akan mengancam keselamatan pulau Raja Ampat yang 90%-nya itu adalah wilayah konservasi,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Senin (9/6).

Menurut catatan Walhi, ada empat izin usaha pertambangan nikel di Tanah Papua, tiga di antaranya berada di pulau-pulau kecil kawasan Raja Ampat. Wilayah ini merupakan rumah bagi 1.600 spesies ikan, 75% spesies karang dunia, serta enam dari tujuh jenis penyu yang terancam punah.

“Ini menunjukkan betapa Raja Ampat itu memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat tinggi sekali, sekaligus menjadi wilayah yang rentan ketika pemerintah salah mengurus Raja Ampat dan pemberian izin eksploitasi pertambangan nikel itu merupakan bentuk kesalahan negara dalam mengurus Raja Ampat. Jika boleh dikatakan negara tidak mampu mengurusi bentang Raja Ampat secara baik dan benar,” tegas Uli Artha.

Sementara itu, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), Mulyanto, turut mengecam aktivitas tambang yang mencemari lingkungan Raja Ampat. Ia meminta pemerintah tidak tebang pilih dalam menindak para pelaku usaha tambang.

"Tindak tegas semua perusahaan tambang yang mencemari lingkungan laut Raja Ampat," kata Mulyanto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (9/6).

Menurut Mulyanto, keindahan dan kekayaan hayati Raja Ampat adalah aset bangsa yang diakui dunia. Oleh karena itu, kelestariannya harus dijaga.

Uskup di Papua: Kerakusan Oligarki Merusak Alam

Di sisi lain, kritik keras juga datang dari kalangan pemuka agama. Dalam sebuah khutbah yang viral di media sosial, Uskup Timika Mgr. Bernardus Bofitwos Baru menyebut bahwa mereka yang merusak alam demi kepentingan bisnis dan politik telah dikuasai oleh “roh kedagingan dan kerakusan”.

“Lihat yang berjuang mempertahankan alamnya, hutannya, budayanya, itulah mereka yang dikuasai oleh Roh Kudus. Berani untuk terus bersuara tentang hak-hak hidupnya. Tapi pihak yang menciptakan konflik adalah Roh Kejahatan menguasainya demi kepentingan kapitalisme, kepentingan imperialisme, oligarki dan semuanya. Ini Roh Kedagingan,” katanya dikutip Selasa (10/6).

Ia juga menyinggung proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang kerap diklaim membawa kemajuan, namun sering kali justru merampas hak masyarakat lokal dan merusak lingkungan.

“Karena itu, saya kira 2 ribu hektar tanah dibabat untuk kepentingan oligarki dan kerakusannya. Dan ini Raja Ampat yang indah hancur karena kerakusan oligarki dan penguasa, dengan slogan demi Proyek Strategis Nasional,” jelasnya. (Ant/P-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya