Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Penggunaan AI Meningkat, Pakar Digital: Indonesia Butuh Lebih Banyak Ahli Keamanan Siber

Ardi Teristi Hardi
29/5/2025 23:39
Penggunaan AI Meningkat, Pakar Digital: Indonesia Butuh Lebih Banyak Ahli Keamanan Siber
Ilustrasi(freepik.com)

MAYORITAS perusahaan swasta di Indonesia ternyata belum siap menghadapi serangan siber di tengah masifnya disrupsi kecerdasan buatan (AI) belakangan ini. Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF), Saga Iqranegara menyebut, tidak banyak perusahaan yang memperhatikan keamanan sistem dan data mereka.

"Biasanya perusahaan baru memanggil ahli keamanan siber saat sudah terjadi masalah, semestinya itu bisa dicegah sejak awal," kata Saga saat dihubungi awak media, Kamis (29/5). 

Sedikitnya perusahaan yang memperhatikan keamanan sistem dan data mereka tampak pada Cybersecurity Readiness Index yang dirilis baru-baru ini oleh Cisco, sebuah perusahaan teknologi global. Dalam laporannya, hanya 11% korporasi di Indonesia yang memiliki kesiapan untuk menghadapi ancaman keamanan siber. 

Artinya, 89% perusahaan rentan mengalami serangan siber yang mengancam keamanan basis data dan aktivitas digital organisasi.

Selain itu, AI juga telah merevolusi keamanan siber dan menaikkan tingkat ancaman, dengan 9 dari 10 organisasi (91%) mengalami insiden keamanan yang berhubungan dengan AI tahun lalu. Dari 61% organisasi yang menghadapi serangan siber, mereka justru dihambat oleh framework keamanan yang kompleks dengan solusi sistem yang tidak terintegrasi (disparate point solution). 

Selain itu, dari perusahaan-perusahaan tersebut, hanya 68% dari responden percaya bahwa tim mereka memahami ancaman terkait AI. Perusahaan yang yakin bahwa tim mereka memahami cara pelaku kejahatan menggunakan AI untuk meluncurkan serangan siber hanya berkisar 65%.

Menurut Saga, tidak banyak perusahaan yang mampu menyiapkan dan menjaga keamanan sibernya. Di sisi lain, jika mereka hendak menggunakan jasa keamanan siber, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit.

"Namun, risiko atas kondisi ini (jika tidak menggunakan jasa keamanan siber) akan lebih besar, kerugian perusahaan  akan jauh lebih besar," kata Saga yang aktif berkecimpung di industri digital. 

Untuk itu, ia pun mendorong lahirnya lebih banyak talenta digital yang memiliki kualifikasi dalam menghadapi ancaman di dunia digital. "Indonesia membutuhkan lebih banyak lulusan keamanan siber yang tersertifikasi," tandasnya. 

Secara terpisah, Direktur Politeknik AI Budi Mulia Dua (PLAI BMD) Ridho Rahmadi menegaskan perlunya perguruan tinggi dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas para talenta dan profesional di bidang AI, khususnya yang menguasai keamanan siber. 

"Apalagi pada 2030, Indonesia diperkirakan membutuhkan 9 juta talenta digital yang artinya bisa sekian kali lipat jika diproyeksikan pada kebutuhan talenta AI dengan kepakaran lebih spesifik di dalam spektrum digitalisasi, seperti untuk menjaga keamanan siber," ujar doktor di bidang _data science and machine learning_ Universitas Radboud, Belanda, ini.

Untuk itu, penguatan keamanan dunia siber memerlukan talenta-talenta digital yang dibekali keterampilan teknis dan telah belajar langsung tentang _cyber security_ dari dunia industri. Pendidikan yang diberikan harus mampu memberikan lulusannya kecakapan terkait rekayasa keamanan siber yang diperkuat pengajar profesional dan praktisi andal.

"Jadi ketika lulus, mereka siap menghadapi ancaman dunia siber yang sesungguhnya," tutup peraih gelar master di bidang AI dari Universitas Johannes Keppler Linz dan Universitas Teknik Ceko. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya