Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
PADA 1785, filsuf Inggris Jeremy Bentham merancang konsep penjara ideal bernama Panopticon. Dalam desain ini, sel-sel tahanan membentuk lingkaran mengelilingi sebuah menara pengawas di tengah. Para tahanan tidak pernah tahu apakah mereka sedang diawasi atau tidak. Ide ini menciptakan efek pengawasan yang konstan tanpa perlu adanya pengawasan terus-menerus.
Hari ini, konsep pengawasan permanen ini tak lagi terbatas pada penjara. Dalam dunia digital dan teknologi canggih, banyak dari kita hidup seperti berada dalam Panopticon versi modern.
Informasi pribadi kita semakin mudah diakses oleh pihak ketiga yang tidak kita kenal. Kamera CCTV tersebar di berbagai sudut kota, perangkat seperti smart doorbell dan teknologi pengenalan wajah berbasis AI mampu mengidentifikasi individu hanya lewat sorotan kamera.
Kita bahkan secara sukarela membagikan lokasi dan aktivitas melalui media sosial. Pengawasan ini, meskipun kadang tidak disadari, membawa dampak besar terhadap perilaku dan kesehatan mental kita.
Menurut psikolog Clément Belletier dari Universitas Clermont Auvergne, perasaan diawasi telah menjadi objek studi sejak abad ke-19. Studi awal Norman Triplett menunjukkan atlet, seperti pesepeda, tampil lebih maksimal ketika ada orang lain yang menyaksikan mereka. Ini menunjukkan kehadiran pengamat memicu perubahan perilaku yang signifikan.
Namun, bukan hanya perilaku sadar yang berubah. Penelitian terbaru menunjukkan perasaan diawasi juga mempengaruhi proses berpikir bawah sadar.
Tatapan langsung memiliki kekuatan sosial besar. Efek “stare-in-a-crowd” menunjukkan bahwa kita bisa langsung mengenali jika seseorang menatap kita di tengah keramaian. Reaksi ini bahkan muncul sejak bayi dan terjadi juga pada hewan—sebuah respons evolusioner untuk mendeteksi ancaman.
Psikolog Clara Colombatto dari University of Waterloo menjelaskan kontak mata mengaktifkan respons stres. Seperti berkeringat atau peningkatan detak jantung, sebagai bagian dari mekanisme fight-or-flight.
Secara sadar, kita menjadi lebih “baik” saat diawasi—lebih dermawan, lebih jujur, dan lebih patuh pada norma sosial. Bahkan, beberapa studi menunjukkan bahwa hanya gambar mata saja bisa mengurangi perilaku mencuri atau membuang sampah sembarangan.
Ketika kita merasa diperhatikan, otak cenderung terganggu. Dalam satu studi, peserta diminta menyelesaikan tugas memori kerja sambil melihat gambar wajah yang menatap langsung atau menoleh. Hasilnya, tatapan langsung membuat peserta bekerja lebih buruk, karena perhatian mereka teralihkan dari tugas utama.
Tidak hanya memori, fungsi seperti kognisi spasial dan pemrosesan bahasa juga terdampak. Ini menunjukkan bahwa pengawasan menghabiskan sumber daya kognitif, bahkan sebelum kita menyadarinya.
Dalam studi terbaru yang dipublikasikan akhir tahun lalu, tim yang dipimpin oleh ahli saraf Kiley Seymour dari University of Technology Sydney menggunakan teknik Continuous Flash Suppression (CFS) untuk mengukur reaksi otak terhadap wajah.
Ketika peserta tahu bahwa mereka sedang direkam melalui kamera, mereka mendeteksi wajah yang tersembunyi lebih cepat dibanding kelompok yang tidak diawasi. Efek ini tidak terjadi pada gambar netral, menunjukkan bahwa otak kita secara otomatis memproses kehadiran manusia yang memperhatikan, bahkan tanpa kita sadari.
Menariknya, studi lanjutan menemukan bahwa gambar mulut yang menghadap peserta juga memengaruhi performa mereka dalam tugas kognitif. Bahkan bentuk geometris seperti kerucut yang mengarah ke peserta memiliki efek serupa. Ini mengarah pada konsep “mind contact”—ketika seseorang merasa menjadi objek perhatian, bukan hanya karena dilihat, tetapi karena merasa dipikirkan atau difokuskan oleh orang lain.
Menurut Seymour, pengawasan konstan dapat memicu mode “survival” secara berlebihan, memicu stres kronis dan kelelahan kognitif. Efek ini bisa lebih parah pada penderita skizofrenia atau kecemasan sosial, yang memang sensitif terhadap tatapan orang lain.
Konsep Panopticon kembali relevan di era media sosial dan algoritma yang memantau setiap gerakan digital kita. Kita tahu bahwa kita mungkin sedang diawasi—tapi tidak pernah tahu oleh siapa.
Penelitian menunjukkan bahwa pengawasan digital di tempat kerja atau ruang ujian online justru bisa menurunkan performa, karena memori dan fokus menjadi terganggu. Ini menantang asumsi bahwa memantau karyawan atau siswa secara intensif akan meningkatkan hasil.
Colombatto menutup dengan menyatakan ini adalah realitas sosial baru yang tidak kita alami 50 tahun lalu. Dunia yang diawasi secara terus-menerus mungkin akan mengubah cara kita berpikir dan berperilaku, bahkan tanpa kita sadari. (Live Science/Z-2)
Faktor risiko cacar api yang paling sering mencetuskan terutama pada dewasa muda itu adalah stres, saat resikonya akan meningkat sekitar 47 persen.
Kondisi macet tidak boleh dipandang sebelah mata karena berbagai studi menunjukkan, kemacetan dan waktu tempuh perjalanan berpengaruh pada tingkat stress, kesehatan dan mental.
Stres menyebabkan penggunaan glikogen otot secara berlebihan. Jika kadar glikogen menurun, pembentukan asam laktat akan terganggu.
Sebanyak 285.380 peserta dinyatakan lolos dari 860.976 pendaftar Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025.
"Kalimat 'semangat ya' itu seringkali tidak membantu, malah memperburuk keadaan. Lebih baik katakan, 'aku nggak tahu kamu sedang melalui apa, tapi aku ada di sini kalau kamu butuh'.
AKTRIS Kimberly Ryder tidak jadi berangkat haji tahun ini lantaran visa haji furoda tidak terbit. Ia mengaku stres. Begini cara menghadapi stres
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved