Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
KEMENTERIAN Kehutanan mencabut izin 18 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang mencakup total luas 526.144,37 hektare. Keputusan ini diambil setelah evaluasi menyeluruh terhadap kepatuhan PBPH terhadap regulasi yang berlaku.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan Dida Migfar Ridha dalam pemaparannya menyatakan bahwa pencabutan izin ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan serta turunannya, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 8 Tahun 2021. Regulasi ini mengatur tata hutan, rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi.
Menurut Dida, ada 19 kewajiban yang harus dipenuhi oleh PBPH sebagaimana diatur dalam Pasal 156 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021.
Evaluasi kepatuhan PBPH dilakukan melalui pemantauan internal, pengaduan masyarakat, serta tim evaluasi yang terdiri dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Dinas Provinsi, Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan pengawas kehutanan di daerah. Jika ditemukan pelanggaran, usulan pencabutan izin diajukan ke Menteri Kehutanan untuk disahkan melalui keputusan resmi.
"Proses pengenaan sanksi pencabutan ini didetailkan dalam Permen LHK Nomor 8 Tahun 2021, yaitu berupa tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan paling lambat satu tahun setelah PBPH diterbitkan, tidak membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai ketentuan, meninggalkan area kerja, memindah-tangankan PBPH tanpa persetujuan pemerintah, dinyatakan pailit oleh pengadilan negeri, terkena sanksi pidana berkekuatan hukum tetap, serta tidak melaksanakan perintah sanksi administrasi," jelas Dida di gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, Jumat (21/2).
Sebaran 18 PBPH yang dicabut tersebar di 12 provinsi, yaitu Aceh, Sumatra Barat, Riau, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua. PBPH yang dicabut mencakup baik hutan alam maupun hutan tanaman.
Secara rinci, sejumlah PBPH yang dicabut yakni PT Plasma Nutfah Marind Papua Seluas ± 64.050 hektare di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, PT Hutan Sembada Seluas ± 10.260 hektare di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, PT Rimba Dwipantara Seluas ± 9.930 hektare di Provinsi Kalimantan Tengah, PT Zedsko Permai Seluas ± 30.525 hektare di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Selatan, PT Rencong Pulp dan Paper Industry Seluas ± 10.384 hektare di Kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh, PT. Multikarya Lisun Prima Seluas ± 28.885 hektare di Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat, PT. Satyaguna Sulajaya Seluas ± 27.740 Ha di Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.
Selain itu PT Batu Karang Sakti Seluas ± 43.327 Ha di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, PT Cahaya Mitra Wiratama Seluas ±18.290 Ha di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, PT Sari Hijau Mutiara Seluas ± 20.000 Ha Di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, PT. Janggala Semesta Seluas ± 12.380 Ha Di Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, PT Maluku Sentosa Seluas ± 11.504 Ha di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Selanjutnya PT Talisan Emas Seluas ± 54. 750Ha di Provinsi Maluku, PT Wanakayu Batuputih Seluas ± 42.500Ha di Provinsi Kalimantan Barat, PT Kayna Resources seluas ± 45.675 Ha di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, PT East Point Indonesia Seluas ± 50.665 Ha di Provinsi Kalimantan Tengah, PT Cahaya Karya Dayaindo Seluas ± 35.340 Ha di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat dan PT Wana Dipa Perkasa seluas ± 8.355 Ha di Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan.
Dida menegaskan bahwa setelah pencabutan, kawasan hutan tersebut tetap menjadi kawasan hutan negara dan akan dimanfaatkan untuk kegiatan kehutanan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Pemanfaatan lebih lanjut akan didasarkan pada kajian terhadap kondisi tutupan lahan, potensi hasil hutan, jasa lingkungan, topografi, keberadaan masyarakat, serta aksesibilitas wilayah.
"Sesuai dengan amar kedua dan ketiga dari keputusan Menteri Kehutanan, pihak PBPH yang dicabut izinnya diperintahkan untuk menghentikan semua kegiatan dalam bentuk apapun di area tersebut. Semua barang tidak bergerak akan menjadi milik negara, kecuali aset berupa hasil budidaya tanaman yang masih dapat dimanfaatkan oleh PBPH paling lama satu tahun setelah keputusan ini berlaku. Jika tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu tersebut, aset tersebut akan menjadi milik negara," ujar Dida.
Lebih lanjut, pemanfaatan tanaman di area yang dicabut akan dilakukan melalui izin tebang yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan aspek konservasi tanah dan air. Hasil evaluasi dan tindak lanjut pencabutan PBPH ini akan dilaporkan langsung kepada Presiden.
Terpisah, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Ahmad Maryudi menyatakan kejadian pencabutan PBPH bukanlah merupakan hal yang baru.
Fenomena seperti ini, katanya, telah terjadi sejak tahun 1990-an di era kejayaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH) karena terbukti tidak berkomitmen untuk mengelola hutan secara bertanggung jawab sehingga menimbulkan banyak kerusakan lingkungan, deforestasi dan degradasi hutan.
Maryudi tidak memungkiri bahwa masih banyak perusahaan yang terus berkomitmen dan bertahan untuk mengelola hutan dengan baik. Meski begitu, ia mengatakan, perusahaan yang telah dicabut izinnya memang berkarakter eksploitatif dan mengedepankan keuntungan sesaat.
Namun, ia mempertanyakan kejadian seperti ini kembali terjadi lagi dan tidak ada pemberian hukuman atau efek jera yang diberikan kepada para perusahaan yang tidak mengelola hutan dengan baik. Bahkan Maryudi menilai banyak perusahaan itu sebenarnya memang berharap agar izinnya dicabut.
“Hal ini dikarenakan potensi hutan yang jauh menurun dan mereka ingin menghindari tanggung jawab yang lebih besar,” kata Maryudi.
Meski hukum dan regulasi sudah ada, efek jera yang ditimbulkan dari pencabutan izin atau sanksi lainnya dianggap masih terbatas. Maryudi menuturkan mekanisme pemberian izin juga patut dipertanyakan, karena seringkali tidak melibatkan evaluasi lingkungan yang memadai, seperti analisis dampak lingkungan (AMDAL).
“Masalahnya bukan soal dicabut atau tidak, tapi bagaimana izin itu diberikan. Banyak perusahaan yang belum memenuhi persyaratan, tetapi tetap mendapat izin. Bahkan di era desentralisasi, ada yang membeli izin,” ujarnya.
Dari kejadian yang sering berulang seperti ini, Maryudi menilai proyek-proyek seperti lahan gambut sejuta hektar dan food estate yang didesain untuk ketahanan pangan akan mengalami hal yang serupa. Sebab tujuan akhirnya adalah untuk membabat habis sumberdaya hutan.
“Jika sekarang ada pencabutan izin di Papua, perlu diperiksa apakah kawasan-kawasan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk konversi atau untuk tujuan lain,” pungkas Maryudi. (Ata/I-1)
MENTERI Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengatakan pemerintah berkomitmen dalam melakukan pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan rakyat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved