Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

SANS: Sindrom Misterius yang Mengancam Penglihatan Astronot di Luar Angkasa

Thalatie K Yani
06/2/2025 11:10
SANS: Sindrom Misterius yang Mengancam Penglihatan Astronot di Luar Angkasa
Studi ungkap 70% astronot yang menghabiskan 6–12 bulan di ISS mengalami SANS, kondisi yang menyebabkan perubahan pada mata akibat pergeseran cairan tubuh dalam mikrogravitasi.(NASA)

SEBUAH studi terbaru mengungkapkan 70% astronot yang menghabiskan waktu antara enam hingga dua belas bulan di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) mengalami perubahan signifikan pada penglihatan mereka akibat kondisi yang disebut "spaceflight-associated neuroocular syndrome" (SANS).  

SANS melibatkan gejala seperti pembengkakan saraf optik, perataan bagian belakang mata, dan perubahan penglihatan secara umum. Kondisi ini terjadi ketika cairan dalam tubuh bergeser selama terpapar lingkungan mikrogravitasi, sehingga menekan mata.  

Kabar baiknya, perubahan ini sering kali berbalik setelah astronot kembali ke Bumi, dan dalam beberapa kasus, memakai kacamata korektif sudah cukup untuk mengatasi gejalanya. Namun, dampak jangka panjang dari paparan mikrogravitasi yang berkepanjangan masih belum jelas, menjadi tantangan besar bagi badan antariksa yang ingin mewujudkan misi luar angkasa berdurasi panjang, seperti perjalanan ke Mars.  

Tanpa strategi pencegahan atau pengobatan yang terbukti efektif saat ini, menemukan solusi menjadi prioritas utama demi menjaga kesehatan astronot dalam perjalanan luar angkasa jangka panjang.  

SANS: Fenomena yang Sudah Lama Diketahui  

Badan antariksa telah menyadari keberadaan SANS sejak awal 2000-an, dan para peneliti terus mencari tahu mekanisme pasti dari kondisi ini serta solusi potensialnya. Salah satu studi awal yang dilakukan terhadap kosmonot Rusia yang menjalani misi jangka panjang di stasiun luar angkasa Mir melaporkan perubahan serupa pada mata—meskipun saat itu kondisi ini belum diidentifikasi sebagai SANS. 

NASA secara resmi mengenali dan menamai sindrom ini tahun 2011, mendefinisikannya sebagai kombinasi temuan oftalmologi, neurologi, dan pencitraan saraf.  

Penyebab utama yang diduga adalah perpindahan cairan tubuh ke arah kepala dalam kondisi mikrogravitasi, yang meningkatkan tekanan pada otak dan mata. Namun, mekanisme pastinya masih dalam penelitian.  

"Beberapa teori telah diajukan, seperti pergeseran cairan hemodinamik, paparan CO2, dan olahraga dalam kondisi mikrogravitasi," tulis tim peneliti yang dipimpin Santiago Costantino dari Université de Montréal dalam studi baru mereka. 

"Memahami perubahan sifat mekanis jaringan mata tidak hanya bisa memberikan wawasan baru tentang patofisiologi penyakit ini, tetapi juga membantu mengidentifikasi individu yang berisiko lebih tinggi mengalami kerusakan mata permanen serta dalam pengembangan langkah-langkah pencegahan terhadap SANS."  

Perubahan pada Mata Astronot  

Dalam penelitian ini, Costantino dan timnya menganalisis data dari 13 astronot yang menghabiskan lima hingga enam bulan di ISS. Kelompok ini, dengan usia rata-rata 48 tahun, terdiri dari astronot asal AS, Eropa, Jepang, dan Kanada. Sebanyak 31% dari mereka adalah perempuan, dan delapan orang menjalani misi luar angkasa untuk pertama kalinya.  

Para peneliti mengukur tiga aspek utama mata sebelum dan setelah penerbangan luar angkasa:  

  • Kekakuan okular (ocular rigidity) – mencerminkan kekakuan jaringan mata.  
  • Tekanan intraokular (intraocular pressure) – tekanan cairan di dalam mata.  
  • Amplitudo denyut okular (ocular pulse amplitude) – variasi tekanan mata seiring dengan denyut jantung.  

Kekakuan okular diukur menggunakan teknik pencitraan khusus untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas dari koroid, lapisan pembuluh darah di mata. Sementara itu, tekanan intraokular dan amplitudo denyut okular diukur dengan tonometri, alat yang umum digunakan untuk memeriksa tekanan dalam mata.

Hasil studi mengungkap perubahan signifikan dalam sifat biomekanis mata astronot, termasuk:

  • Penurunan kekakuan okular sebesar 33%
  • Penurunan tekanan intraokular sebesar 11%
  • Penurunan amplitudo denyut okular sebesar 25%

Perubahan ini dikaitkan dengan berbagai gejala, seperti pengecilan ukuran mata, perubahan bidang fokus, pembengkakan saraf optik, dan lipatan retina.

Selain itu, para peneliti menemukan lima astronot memiliki ketebalan koroid lebih dari 400 mikrometer, lebih tinggi dari rata-rata orang sehat yang berkisar 200–300 mikrometer. Menariknya, perubahan ini tampaknya tidak berkaitan dengan usia, jenis kelamin, atau pengalaman sebelumnya dalam penerbangan luar angkasa.

Upaya Mencari Solusi

Para peneliti dan badan antariksa kini tengah mengembangkan berbagai strategi untuk mengatasi SANS, termasuk:

  • Intervensi farmasi – obat-obatan untuk mengurangi tekanan cairan tubuh.
  • Nutrisi khusus – diet yang dapat membantu mengontrol distribusi cairan tubuh.
  • Alat tekanan negatif – perangkat yang menarik cairan tubuh ke bagian bawah tubuh untuk mengurangi tekanan di kepala dan mata.

Studi ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang efek SANS pada tubuh manusia, membantu mempercepat pengembangan solusi yang lebih efektif.

"Perubahan yang diamati pada sifat mekanis mata dapat digunakan sebagai biomarker untuk memprediksi perkembangan SANS," kata Costantino dalam sebuah pernyataan. "Hal ini akan membantu mengidentifikasi astronot yang berisiko sebelum mereka mengalami masalah mata serius selama misi jangka panjang."

Dengan meningkatnya ambisi eksplorasi luar angkasa, memahami dan mengatasi SANS menjadi kunci penting demi kesuksesan misi Mars dan perjalanan luar angkasa di masa depan. (Space/Z-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya