Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
TERLAHIR sebagai putra sulung keluarga guru nasionalis di Blora, 6 Februari 1925, Pramoedya Ananta Toer menempuh pendidikan dasar di Institut Boedi Oetomo Blora yang dipimpin ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri. Ia sempat melanjutkan pendidikan di Radio Vakschool Surabaya, tetapi tidak sempat menerima ijazah kelulusan menyusul runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda dan masuknya pasukan Pendudukan Jepang.
Pada bulan Juni 1942, Pramoedya merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai juru ketik Kantor Berita DOMEI, sambil meneruskan pendidikan menengahnya di Taman Madya. Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Pramoedya bergabung dalam Resimen VI Divisi Siliwangi yang bertugas di wilayah Bekasi. Pilihan Pramoedya mendukung kemerdekaan Indonesia ditebusnya dengan hukuman penjara di Bukit Duri, mulai 23 Juli 1947 hingga 18 Desember 1949.
Di balik jeruji besi inilah, dua roman pertamanya, Perburuan dan Keluarga Gerilya, ditulis. Pada tahun 1950, Pramoedya diangkat sebagai redaktur sastra Indonesia modern di Balai Pustaka. Pramoedya lantas bekerja sebagai pengarang penuh-waktu, penerjemah, dan kontributor lepas di berbagai surat kabar dan majalah, setelah berhenti dari Balai Pustaka.
Kiprahnya sebagai wajah baru dalam kesusastraan Indonesia mengantarkan Pramoedya pada berbagai capaian, mulai dari program residensi di Belanda atas biaya Stichting voor Culturele Samenwerken (Sticusa) pada 1953, undangan peringatan wafat Lu Hsun dari Republik Rakyat Tiongkok pada 1956, hingga mengetuai delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent pada 1957.
Pada Agustus 1960, Pramoedya ditangkap dan dipenjara selama satu tahun tanpa peradilan karena menerbitkan buku Hoakiau di Indonesia. Buku ini dianggap subversif oleh penguasa saat itu karena menunjukkan pembelaan terhadap kedudukan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang disudutkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10/1959 yang rasialistis.
Usai dibebaskan, Pramoedya menerima tawaran menjadi redaktur rubrik kebudayaan surat kabar Bintang Timur serta mengajar mata kuliah kesusastraan Indonesia dan sejarah Indonesia modern di Universitas Res Publica, Akademi Sedjarah Ranggawarsita, dan Akademi Sastra Multatuli.
Karya-karyanya dalam bentuk biografi (Panggil Aku Kartini Sadja), cerita bersambung (Larasati dan Gadis Pantai), polemik, esai bersambung, hingga makalah ilmiah secara teratur terbit di rubrik kebudayaan Lentera yang diasuh Pramoedya bersama Rukiah Kertapati.
Pasca Gerakan 30 September 1965 digagalkan, Pramoedya ditangkap dalam penyerbuan massa ke kediamannya pada 13 Oktober 1965. Delapan manuskrip yang belum selesai turut dihancurkan dan dibakar bersama-sama koleksi lima ribu buku di perpustakaan pribadinya.
Selama empat tahun berikutnya, Pramoedya beberapa kali mengalami pemindahan lokasi penahanan (Penjara Salemba, Tangerang, dan Nusa Kambangan) sebelum diberangkatkan bersama 800 orang tahanan politik ke Pulau Buru pada 16 Agustus 1969 dengan kapal ADRI XV.
Kerja paksa membuka hutan dengan peralatan seadanya, membuka sawah, serta membangun infrastruktur jalan dan jembatan di bawah ancaman bedil menjadi pekerjaan harian Pramoedya sebagai tahanan politik hingga mendapatkan izin Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soemitro, untuk kembali melakukan pekerjaan tulis-menulis.
Dalam keterbatasan alat tulis dan pasokan kertas, Pramoedya menuliskan ulang cerita-cerita lisan yang dia tuturkan sebelum tidur kepada teman-teman sesama tahanan. Tidak kurang dari delapan naskah dia terbitkan dalam keterbatasan tersebut, antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, Mangir, Di Atas Lumpur, dan dokumentasi Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
Naskah-naskah yang sudah selesai diketik kemudian digandakan dan disembunyikan sampai Pramoedya menemukan celah menyelundupkannya keluar dari Buru dengan bantuan biarawan dan biarawati Katolik yang melakukan kunjungan secara berkala untuk memberikan pelayanan rohani dan konseling untuk para tahanan politik. Tidak hanya menuliskan roman, Pramoedya memanfaatkan izin menulis ini untuk berkirim surat kepada keluarganya, serta mencatat kematian tahanan politik dari 23 unit tahanan di Pulau Buru.
Pramoedya menerima surat pernyataan tidak terlibat G30S pada 12 November 1979, dan kembali ke keluarganya pada 21 Desember 1979 setelah dipisahkan selama 14 tahun. Dia merintis kembali karier kepenulisannya yang mandek dengan mendirikan penerbit Hasta Mitra bersama Hasjim Rachman dan Joesoef Isak, dan menerbitkan Bumi Manusia untuk pertama kali pada bulan Agustus 1980.
Sambutan meriah terhadap penerbitan buku ini ditandai dengan animo pembaca yang sangat tinggi dan cetak ulang lima kali dalam waktu kurang dari satu tahun. Namun, pada 29 April 1981, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan larangan terhadap Bumi Manusia dan sekuel Anak Semua Bangsa karena dianggap “menyebarluaskan marxisme-leninisme.” Sebagian eksemplar kedua buku tersebut ditarik dari peredaran dan dihancurkan, sementara sebagian lain digandakan dan dijual secara sembunyi-sembunyi. Beruntung, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sempat diterjemahkan ke bahasa Inggris, dan membawa nama Pramoedya ke panggung kesusastraan dunia.
Pramoedya menerima kenyataan tersebut dalam pembatasan kebebasan sebagai tahanan kota dan tahanan negara yang tidak dapat membela diri dan tidak dapat memberikan hak jawab atas berbagai tuduhan yang ditujukan terhadapnya. Buku-buku yang diterbitkan Hasta Mitra berkali-kali dilarang dan diberangus, meski pada saat yang sama, nama Pramoedya berkali-kali memasuki daftar pendek nominasi penerima Penghargaan Nobel untuk Kesusastraan dari Akademi Swedia. Pada 1995, Pramoedya menerima Hadiah Ramon Magsaysay untuk jurnalisme, kesusastraan, dan komunikasi kreatif karena karya-karyanya yang berkontribusi pada pencerahan masyarakat Indonesia tentang periode kebangkitan nasional.
Pramoedya menerima kembali hak-hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia pada 1999, setelah melewati sekurang-kurangnya 34 tahun penahanan, perampasan kebebasan, dan pemberangusan atas karya-karyanya. Berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri yang kemudian diterima Pramoedya secara bergantian menjadi pengakuan dan penghormatan atas sumbangsihnya terhadap kesusastraan Indonesia modern, hingga tutup usia pada 30 April 2006 akibat komplikasi.
(Z-9)
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengajak generasi muda untuk menghargai dan mengapresiasi para penulis.
FILM Bumi Manusia adaptasi novel Pramoedya Ananta Toer (Pram) versi panjang, sekitar 5–6 jam, akan tayang di KlikFilm.
Dedikasi Pramoedya Ananta Toer tidak lepas dari berbagai konsekuensi berat, ia harus merasakan pahitnya penjara di tiga rezim berbeda.
Dengan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke 42 bahasa, Pramoedya Ananta Toer adalah lambang harapan, perlawanan, dan keberanian melawan ketidakadilan.
PADA 6–8 Februari, akan ada perayaan besar bagi insan sastra lewat sebuah perayaan hari lahir sang sastrawan besar Indonesia asal Blora, Pramoedya Ananta Toer.
TAHUN 2025 menandai peringatan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang telah menghasilkan lebih dari 50 karya sastra.
'RASANYA aku sudah tak berjiwa lagi, seperti selembar wayang di tangan ki dalang', kata Sanikem, salah satu karakter perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved