Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Bagaimana Letusan Gunung Berapi Toba Jadi Tersangka Kemacetan Genetik?

Alya Putri Abi
04/1/2025 16:29
Bagaimana Letusan Gunung Berapi Toba Jadi Tersangka Kemacetan Genetik?
Ilustrasi letusan gunung berapi toba.(Dok. Domain Publik)

KELOMPOK pemburu-pengumpul di Afrika dan Eurasia menjalani hari-hari biasa mereka, melacak kawanan hewan migran, bergerak melalui hutan, atau mengikuti tepian sungai. Mereka fokus pada bertahan hidup, mencari makanan, air, dan memperkuat ikatan sosial dalam kelompok kecil mereka. Namun, ribuan mil jauhnya, sebuah letusan gunung berapi yang dahsyat terjadi.

Bencana ini diperkirakan menjadi penyebab kemacetan genetik pada manusia. Lantas, bagaimana letusan gunung berapi bisa menjadi tersangka dalam kemacetan genetik manusia?

Sekitar 74.000 tahun yang lalu, Gunung Toba di Sumatra meletus dalam skala yang sulit dipahami. Letusan gunung berapi Toba itu merupakan letusan terkuat dalam 2,5 juta tahun terakhir.

Letusan Gunung berapi Toba memiliki volume 215 kali. Ini lebih besar daripada letusan Novarupta di Alaska, dan  11.000 kali lebih besar daripada letusan Gunung St Helens pada 1980. Letusan ini juga lebih besar dari tiga letusan gunung berapi super Yellowstone yang tercatat.

Pada akhir abad ke-20, para peneliti mulai mencoba merekonstruksi apa yang terjadi setelah letusan Toba. Menurut penelitian awal, lapisan abu setebal beberapa inci menutupi sebagian besar anak benua India dan menghalangi lautan dari pesisir Arab hingga Tiongkok.

Letusan Toba menyebarkan kabut sulfur dan abu ke seluruh dunia, menyebabkan perubahan iklim besar-besaran. Banyak wilayah menjadi gersang, suhu turun drastis, dan kondisi dingin bertahan selama seribu tahun.

Akibatnya, ekosistem hancur, dan miliaran tumbuhan, hewan musnah,  termaksud manusia. Dan Selama 30 tahun terakhir, teori ini sempat dianggap masuk akal.

Manusia modern berevolusi lebih dari 200.000 tahun lalu di Afrika, dengan sebagian kecil nenek moyang menyebar ke luar benua. Namun, ada periode di mana hampir seluruh populasi manusia di luar Afrika hancur, dan hanya beberapa ribu orang di Afrika yang selamat.

Teori ini dibantah dengan penelitian terbaru yang mengungkapkan fakta berbeda. Meskipun dampak letusan gunung berapi Toba dirasakan di seluruh dunia, pengaruhnya tidak merata di setiap wilayah.

Studi tahun 2021 menunjukkan bahwa suhu rata-rata di Belahan Bumi Utara bisa turun hingga 4 derajat Celsius (7,2 derajat Fahrenheit), sementara di Belahan Bumi Selatan hanya sedikit atau tidak ada perubahan suhu.

Kekeringan juga bervariasi di berbagai daerah. Beberapa tempat, seperti Asia Timur Laut dan Himalaya, mengalami penurunan curah hujan hingga 40 persen, sementara daerah lain tidak terpengaruh. Beberapa studi iklim juga menunjukkan dampak yang berbeda di setiap wilayah, bahkan ada yang tidak merasakannya sama sekali.

Bukan Penyebab Kemacetan Genetik tapi Inovasi

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kemacetan genetik yang sebelumnya dikaitkan dengan letusan Toba, kini tampak tidak mungkin. Meskipun ada kemajuan dalam genomik, ilmuwan tidak menemukan bukti penurunan manusia dalam jumbla besar, selama atau setelah letusan.

Sebaliknya, bukti arkeologi dan paleoantropologi semakin menunjukkan bahwa bagi spesies manusia, gunung berapi Indonesia bukanlah penyebab Kemacetan genetik, melainkan katalisator inovasi.

Perkakas batu telah ditemukan baik di atas maupun di bawah lapisan abu Toba, yang diendapkan di India Utara, Jazirah Arab, dan daerah lainnya. Ini menunjukkan bahwa manusia telah ada di wilayah tersebut, sebelum dan setelah letusan dahsyat itu.

Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian di Ethiopia, sebuah tim ilmuwan menemukan, bahwa manusia dapat bertahan dari perubahan iklim akibat letusan gunung berapi dari jarak jauh. Mereka bertahan dengan mengubah pola makan dan mungkin menciptakan teknik berburu baru, yaitu memanah.

Penggalian di Shinfa-Metema 1, Ethiopia, dimulai lebih dari 20 tahun lalu. Penelitian terbaru yang dipublikasikan di Nature memberikan penanggalan lebih akurat, berkat penemuan puing-puing mikroskopis dari letusan yang ditemukan di lokasi tersebut.

Temuan menarik adalah ujung-ujung runcing dari batu lokal yang diperkirakan dibuat sekitar 74.000 tahun yang lalu  hampir bersamaan dengan letusan Toba. Ujung batu ini diyakini sebagai mata panah tertua yang ditemukan.

Untuk bertahan hidup, pola makan manusia di Shinfa-Metema 1 pada waktu itu berubah seiring daerah yang semakin gersang.

Selain rusa liar, monyet, dan burung unta, mereka mulai mengonsumsi lebih banyak ikan, mungkin karena ikan yang terperangkap di kolam dangkal menjadi sumber makanan yang mudah didapat, saat saluran air mengering.

Masyarakat di Shinfa-Metema 1 dan di berbagai belahan dunia lainnya mungkin bertahan hidup setelah letusan gunung berapi Toba, dengan menyesuaikan perilaku mereka. (https://www.atlasobscura.com, https://johnhawks.net/Z-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya