Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Kisah Nabi Muhammad Bercanda dan Batasannya Menurut Ulama

Wisnu Arto Subari
10/12/2024 22:05
Kisah Nabi Muhammad Bercanda dan Batasannya Menurut Ulama
Ilustrasi.(Freepik)

ISLAM merupakan agama yang mengatur seluruh sisi kehidupan manusia, termasuk bercanda. Hal ini biasanya diatur dalam bidang fikih. Tujuannya agar bercanda dapat menghibur orang bukan malah menyakiti orang.  

Ada sejumlah kisah Nabi Muhammad SAW jua kadang-kadang bercanda dengan umatnya. Para ulama mengatakan Rasulullah SAW tidak pernah menyakiti orang bahkan berbohong dalam bercanda. Berikut uraiannya sebagaiman dilansir @pondoklirboyo. 

Orang tua tidak masuk surga

Dalam salah satu riwayat ada seorang perempuan yang sudah tua datang kepada Nabi Muhammad SAW. Ia kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku amalan-amalan ibadah agar aku bisa masuk surga."

Rasulullah diam. Lalu beliau mengatakan, "Begini, di surga nanti enggak ada nenek-nenek. Surga itu berisi orang-orang muda dan cantik semua."

Sang nenek pun balik badan hendak meninggalkan Rasulullah seraya menangis. Rasulullah lantas menjelaskan candaannya kepada sang nenek, "Jangan tergesa-gesa menangis dulu. Dengar dulu, nanti di surga tidak ada nenek-nenek. Ini karena kalau nanti masuk surga, engkau akan kembali menjadi muda lagi seperti remaja yang cantik." 

Allah Swt. berfirman:

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا عُرُبًا أَتْرَابًا

Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta, lagi sebaya usianya." (QS. Al-Waqi'ah 35-37).

Menunggangi anak unta

Anas ibn Malik juga pernah bercerita bahwa ada seorang lelaki meminta izin agar Nabi Muhammad SAW membiarkannya menunggang unta. Lantas Nabi menjawab, "Aku akan membiarkanmu menunggang anak unta."

Lelaki tersebut yang tidak memahami ucapan itu lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang akan aku lakukan dengan anak unta itu?"

Nabi dengan bercanda menjawab, "Apakah unta bisa melahirkan selain unta?"

Maksudnya, semua unta, baik itu dewasa maupun anak-anak, pasti lahir dari induk unta. Unta dewasa pun berarti anak unta. Setelah lelaki tadi faham, barulah keduanya tertawa bersama.

Manfaat bercanda

Cerita-cerita tersebut tentu mengingatkan kita akan kebaikan hati Nabi dan cara lembut beliau berinteraksi dengan orang lain, bahkan dalam urusan yang tampaknya sepele.

Kita mestinya sepakat bahwa candaan atau gojlokan (jawa) ialah hal yang lumrah dalam pertemanan. Melontarkan candaan biasanya menjadi penanda keakraban. Kasarnya, orang yang sudah dekat tidak akan sungkan mengolok-olok temannya.

Dalam public speaking orang yang di atas panggung biasanya akan menggunakan candaan supaya menghilangkan kekakuan. Suasana yang cair audiens akan merasa lebih rileks dan terbuka terhadap pesan yang akan disampaikan.

Candaan juga dapat meningkatkan keterlibatan audiens, dengan humor yang relevan dapat membuat audiens lebih terlibat secara emosional, sehingga mereka lebih fokus dan menikmati pidato.

Batasan bercanda

Namun dalam bercanda mestinya memiliki batasan, tidak lantas boleh secara mutlak. Syekh Muhammad 'Alan dalam Futuhat ar-Rubbaniyyah mengutip pendapatnya para ulama.

قال العلماء: المِزَاحُ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ هُوَ الَّذِي فِيْهِ إِفْرَاطٌ وَيُدَاوَمُ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُوْرِثُ الصَّحَاكَ وَقَسْوَةَ الْقَلْبِ وَيُشْغِلُ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَالْفِكْرِ فِي مُهِمَّاتِ الدَيْنِ وَيَسُولُ فِي كَثِيرٌ مِنَ الْأَوْقَاتِ إِلَى الْإِيْدَاءِ وَيُوْرِثُ الْأَحْقَادَ وَيَسْقُطُ الْمَهَابَةَ وَالْوَقَارَ

Para ulama berkata, "Candaan yang dilarang adalah canda yang berlebihan dan terus-menerus dilakukan, karena hal itu menyebabkan terlalu banyak tertawa, kerasnya hati, lalai dari mengingat Allah SWT dan lalai berpikir tentang hal-hal penting dalam agama. Selain itu, sering kali berujung pada tindakan menyakiti, menimbulkan kebencian, serta menghilangkan kewibawaan dan rasa hormat."

Dari keterangan tersebut kemudian beliau menegaskan:

فَأَمَّا مَا سَلِمَ مِنْ هَذِهِ الْأُمَوْرِ فَهُوَ الْمُبَاحُ الَّذِي كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا كَانَ يَفْعَلُهُ فِي نَادِرِ مِنَ الْأَحْوَالِ لِمَصْلَحَةٍ وَتَطْيِيْبِ نَفْسِ الْمُخَاطَبِ وَمُوَانَسَتِهِ وَهَذَا لَا مَنْعَ مِنْهُ قَطْعًا بَلْ هُوَ سُنَّةٌ مُسْتَحَبَّةٌ إِذَا كَانَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ.

Adapun candaan yang bebas dari hal-hal tersebut, itulah candaan yang diperbolehkan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Beliau hanya melakukannya pada kondisi tertentu, untuk suatu kemaslahatan, menyenangkan hati lawan bicara, dan menciptakan keakraban. Hal ini sama sekali tidak dilarang, bahkan menjadi sunah yang dianjurkan jika memenuhi kriteria seperti itu."

Dalam bercanda juga harus melihat media, seperti kata yang dipilih. Imam Nawawi dalam al-Adzkar an-Nawawiyah menyampaikan beberapa kata yang tidak pantas buat candaan.

وَمِنَ الْأَلْفَاطِ الْمَنْمُوْمَةِ الْمُسْتَعْمَلَةِ فِي الْعَادَةِ قَوْلُهُ لِمَنْ يُخَاصِمُهُ: يَا حِمَارُ يَا تَيْسُ يَا كَلْبُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا قَبِيحُ لِوَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَذِبُ وَالْآخَرُ: أَنَّهُ إِيذَاءُ

Di antara ucapan-ucapan tercela yang biasa digunakan dalam kebiasaan sehari-hari adalah perkataan kepada lawan debat, "Wahai keledai," "Wahai kambing jantan," "Wahai anjing," dan yang semisalnya. Perkataan ini dianggap buruk karena dua alasan yakni kebohongan serta dapat menyakiti orang lain.

Candaan juga harus melihat target candaan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum ad-Din menegaskan:

فَأَمَّا مَنْ جَعَلَ نَفْسَهُ مَسْخَرَةٌ أَيْ حَلَّا لِلسُّخْرِيَةِ يُسْخَرُ بِهِ) وَرُبَّمَا فَرِحَ مِنْ أَنْ يُسْخَرَ بِهِ (وَلَا يَتَأَدَّى بِبَاطِنِهِ مِنْهُ كَانَتِ السُّخْرِيَةُ فِي حَقِهِ مِنْ جُمْلَةِ الْمِزَاحِ إِذْ هُوَ مُطَايَبَةُ اللَّسَانِ بِالْكَلَامِ بِحَيْثُ لَا يُعْتُهُ ذَلِكَ وَلَا يَتَكَذَرُ بِهِ فَأَمَّا إِذَا آدَى فَقَدْ خَرَجَ مِنْ حَدِ الْمِزَاحِ وَلَحِقَ بِالسُّخْرِيَةِ).

Adapun orang yang menjadikan dirinya bahan candaan dan mungkin merasa senang ketika menjadi target candaan, serta tidak merasa terganggu dalam hatinya karena itu, candaan terhadapnya dianggap bagian dari candaan, sebab sebatas bentuk hiburan lisan dengan ucapan yang tidak membuatnya sedih atau terganggu. Namun, jika candaan tersebut menyakitinya, ia keluar dari batas candaan dan berubah menjadi penghinaan.

Islam membolehkan candaan dalam rangka menghibur, menghilangkan penat, menjalin keharmonisan serta untuk mencairkan suasana dengan sejumlah catatan.

1. Tidak ada unsur menyakiti atau menghina. 

2. Candaan diterima secara baik oleh pihak yang menjadi objek.

3. Tetap berada dalam batas-batas akhlak Islami seperti tidak menggunakan ungkapan yang berlebihan.

Wallahu a'lam. (Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya