Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
ANGGOTA Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengkritik wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek atau plain packaging bagi produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari PP 28 Tahun 2024. Dia menilai, kebijakan tersebut bukan hanya tak konstitusional, tetapi juga merugikan kepentingan nasional.
Misbakhun mengungkapkan bahwa rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam menerapkan kemasan polos bagi produk tembakau akan berdampak langsung pada negara, terutama dari sisi perekenomian, di mana sejauh ini cukai hasil tembakau (CHT) diklaim telah menyumbang hingga Rp300 triliun terhadap negara.
“Dampak ekonomi yang signifikan ini malah menjadi sesuatu yang luput untuk dilihat oleh para pemangku kebijakan, sehingga saya melihat ini adalah pendekatan yang tidak seimbang. Rokok menyumbang Rp300 triliun kepada negara setiap tahunnya, itu sangat signifikan untuk anggaran nasional kita,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Senin (9/9).
Baca juga : Kebijakan Pemerintah Naikkan Cukai Rokok sejak 2019 Dikritisi
Dirinya mempertanyakan bagaimana kebijakan kemasan polos itu bisa dipertimbangkan untuk masuk dalam RPMK. Padahal secara jelas kebijakan tersebut mengabaikan kepentingan petani dan pedagang yang bergantung pada industri hasil tembakau.
Ia pun mengkritisi bagaimana penggodokan kebijakan ini menjadi bentuk dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan segelintir negara-negara sebagai bentuk pengendalian tembakau. Misbakhun mempertanyakan pihak yang mendorong kebijakan sarat polemik tersebut.
“Yang mengganggu itu apa sih? FCTC. Mereka inilah yang melakukan determinasi untuk memberikan global influence. Mereka disponsori oleh siapa? Ada yang namanya Bloomberg Philanthropies, yang selalu melihat rokok itu dalam tataran negatif,” tegas dia.
Baca juga : Asosiasi Petani Tembakau Merasa Tidak Dilibatkan dalam Penyusunan PP 28/2024
Misbakhun melanjutkan, Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan seharusnya berani mengambil sikap untuk mengedepankan dan melindungi petani, pedagang, segala macam roda ekonomi yang berjalan dan menggantungkan diri pada industri tembakau. Seperti diketahui, petani tembakau dan pedagang kecil adalah bagian dari ekosistem ekonomi kerakyatan yang sejatinya membutuhkan dukungan dan kehadiran pemerintah agar dapat terus bertahan di masa sulit ini.
Bahkan dari porsi anggaran saja, kalangan petani tembakau dan cengkih, misalnya, tidak pernah diberi alokasi secara khusus oleh pemerintah untuk membantu perkembangan ekonomi mereka. Tidak ada insentif maupun subsidi untuk pupuk atau pestisida yang bisa digunakan petani tembakau untuk bisa membantu kesejahteraan petani.
“Kita sering lupa untuk memperhitungkan aspek ekonomi. Negara mendapatkan pendapatan besar dari cukai tembakau, sekitar Rp300 triliun setiap tahun, dan sektor ini juga mempekerjakan banyak orang. Namun, tidak ada satu pun dukungan konkret,” tuturnya.
Baca juga : Aturan Zonasi Penjualan Rokok, Pedagang Bakal Kehilangan Omzet Triliunan Rupiah
Menurut Misbakhun, kebijakan kemasan polos tanpa merek yang diusulkan pun tidak akan efektif dalam mengurangi konsumsi rokok. Pasalnya, beragam data berdasarkan pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan kemasan polos tidak berpengaruh dalam mengurangi konsumsi rokok. Justru, ini akan mendorong peredaran rokok ilegal yang tidak terdata dan merugikan negara dari penerimaan cukai produk legal.
Lebih lanjut, Misbakhun menilai rencana untuk menghilangkan merek rokok dan hanya menggunakan kemasan polos menjadi wacana yang tidak rasional. Pasalnya, menghapus merek rokok dan hanya menggunakan kemasan polos yang seragam dan generik akan membuat pengawasan dan penegakan hukum menjadi semakin sulit.
“Bea Cukai tidak dirancang untuk menangani masalah ini. Standardisasi kemasan polos mungkin bagus untuk perdebatan, tapi kurang efektif jika diterapkan secara langsung tana dukungan yang jelas,” kata Misbakhun.
Baca juga : Aparsi Sebut RPP Kesehatan Bakal Gerus Perekonomian Pasar Rakyat
Apalagi, selama ini kampanye kesehatan tidak pernah berhasil secara signifikan membantu para perokok untuk berhenti. Jika pemerintah terus menggunakan cara yang sama tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan penegakan hukum, ia khawatir yang terjadi hanya meningkatnya rokok ilegal dan kerugian negara yang lebih besar.
Sebagai penutup, Misbakhun menegaskan perlunya pendekatan yang berimbang dalam kebijakan tembakau, yang juga turut mempertimbangkan dampak ekonomi dan tata kelola yang baik. Kebijakan yang hanya fokus pada satu aspek tanpa mempertimbangkan keseluruhan dampak akan selalu menghadapi masalah. Menurutnya, pengendalian tembakau melalui aturan yang terlampau ketat terbukti tidak pernah membuahkan hasil yang diharapkan.
“Puluhan tahun kita mencoba cara yang sama. Kenapa kita masih menggunakan hal yang sama? Cara yang sama tapi ingin hasilnya berbeda. Akhirnya yang terjadi itu adalah rokok ilegal, dan ini disangkal sepenuhnya oleh pemerintah. Maka dari itu menurut saya, PP yang membatasi ini, ini tidak bagus di sektor industri dan ekonomi,” pungkasnya. (Z-8)
Industri pengolahan tembakau anjlok hingga -3,77% yoy—berbanding terbalik dengan pertumbuhan 7,63% pada periode yang sama tahun lalu. Cukai rokok
Peningkatan cukai rokok masih dibutuhkan untuk menurunkan prevalensi perokok, terutama pada remaja.
Jusrianto berpandangan, industri kretek nasional telah menunjukkan peran penting terhadap perekonomian Indonesia.
ANGGOTA Komisi IX DPR RI Irma Suryani mengusulkan agar pembiayaan implementasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) didanai oleh cukai rokok.
HJE rokok 2025 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 Tahun 2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot dan Tembakau Iris.
MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hingga Oktober 2024 masih terjaga dengan baik.
Sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dinilai mengancam keberlangsungan industri dan kesejahteraan jutaan pekerja industri hasil tembakau.
Dihentikannya pembelian tembakau oleh dua perusahaan rokok kretek besar, yaitu PT Gudang Garam dan Nojorono di Temanggung, Jawa Tengah, merupakan kabut hitam perekonomian nasional.
Ia menilai aturan ini berpotensi menurunkan permintaan rokok, yang pada akhirnya berdampak pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kebijakan fiskal yang menyangkut IHT harus dirancang secara hati-hati dan presisi.
Melihat dampak yang begitu luas, Haris meminta agar implementasi PP 28/2024 melibatkan pemerintah daerah dalam prosesnya.
PROGRAM Manager Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi mengungkapkan produksi tembakau Indonesia dalam satu tahun mencapai 200 ribu ton.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved