Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

CISDI: Penambahan Golongan Cukai Rokok Tidak Sejalan dengan Tujuan Pengendalian Konsumsi Rokok

Despian Nurhidayat
23/7/2025 06:54
CISDI: Penambahan Golongan Cukai Rokok Tidak Sejalan dengan Tujuan Pengendalian Konsumsi Rokok
Ilustrasi(Freepik.com)

WACANA penambahan Golongan III untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) dalam struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) menuai kritik dari berbagai pihak. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai langkah ini tidak sejalan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok dan optimalisasi penerimaan negara.

Menurut CISDI, penambahan golongan baru justru akan memperburuk fenomena downtrading (peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah) yang selama ini menjadi tantangan utama dalam sistem cukai. Fenomena ini tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, tetapi juga berpotensi menggerus penerimaan negara dan memperbesar celah peredaran rokok ilegal.

“Penambahan layer SKM Golongan III ini sangat kontraproduktif,” tegas Project Lead Tobacco Control CISDI, Beladenta Amalia dilansir dari keterangan resmi, Selasa (22/7). 

Beladenta menjelaskan bahwa struktur tarif CHT saat ini sudah terdiri dari delapan layer. Penambahan menjadi sembilan layer dinilai tidak akan menyelesaikan masalah, justru memperumit sistem dan memperburuk efektivitas kebijakan.

“Dengan menambah layer tambahan ke struktur cukai kita yang sudah sangat kompleks, justru malah bisa menambah opsi harga kepada konsumen perokok. Karena dengan sistem cukai selama ini sebenarnya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah mengeluhkan adanya fenomena downtrading,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa rokok dengan harga lebih murah tentu memiliki tarif cukai yang lebih rendah, sehingga potensi penerimaan negara pun ikut menurun. “Rokok yang murah itu kan tentu tarif cukainya lebih rendah, artinya negara juga akan rendah pemasukannya karena ada downtrading ini, sehingga penerimaan negara tidak akan optimal,” kata Beladenta.

Selain berdampak pada penerimaan, struktur tarif yang terlalu rumit juga menyulitkan pengawasan oleh otoritas Bea Cukai. Semakin banyak variasi pita cukai, semakin banyak pula jenis produk yang harus diawasi.

“Karena makin banyak jenis rokok yang harus diawasi, sehingga ini yang membuat penegakan itu semakin rumit, dan memperbesar potensi celah rokok ilegal,” ujar Beladenta.

CISDI mendorong pemerintah untuk fokus pada penyederhanaan struktur tarif, bukan memperluasnya. Mereka merekomendasikan agar struktur tarif CHT dirampingkan menjadi hanya tiga sampai lima layer secara bertahap hingga 2029, seiring dengan penerapan kebijakan cukai multi-tahun (multi-year). Pendekatan ini dinilai akan memberikan kepastian fiskal bagi pelaku usaha sekaligus memperkuat agenda pengendalian konsumsi rokok.

Beladenta juga menyoroti inkonsistensi arah kebijakan pemerintah dalam pengendalian tembakau. “Sangat disayangkan ya sebenarnya waktu itu pemerintah sudah berani mengeluarkan cukai multi-year dari tahun 2023 sampai 2024. Semestinya itu diteruskan menurut kami,” tegasnya.

Penambahan golongan baru dalam struktur tarif CHT dinilai bukan solusi, melainkan justru memperburuk tantangan yang ada. Dengan memperumit sistem, memperbesar celah rokok ilegal, dan menggerus penerimaan negara, kebijakan ini dinilai kontraproduktif terhadap tujuan fiskal dan kesehatan publik. CISDI menegaskan pentingnya konsistensi dan keberanian pemerintah dalam mengambil keputusan strategis yang berpihak pada kepentingan jangka panjang masyarakat. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya