Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Gapmmi Minta Pemerintah Kaji Ulang PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan

Basuki Eka Purnama
22/8/2024 05:59
Gapmmi Minta Pemerintah Kaji Ulang PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan
Ilustrasi--Calon konsumen memilih minuman kemasan di sebuah pusat perbelanjaan, Tangerang Selatan, Banten.(ANTARA/Sulthony Hasanuddin)

GABUNGAN Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) meminta Pemerintah mengkaji ulang pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Ketua Umum Gapmmi Adhi Lukman menyampaikan perlunya evaluasi yang dilakukan secara komprehensif, dengan mengedepankan kajian risiko dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait, utamanya industri makanan minuman pangan olahan selaku pelaku utama serta pembina industri agar tujuan nasional untuk masyarakat sehat dan juga industri nasional yang berdaya saing dapat berjalan beriringan.

"Mengutamakan edukasi kepada konsumen mengenai pentingnya konsumsi makanan dan minuman yang seimbang sesuai dengan kebutuhan setiap individu, istirahat, dan aktivitas fisik yang cukup. Dengan demikian konsumen dapat memilih produk pangan yang dikonsumsi berdasarkan kandungan gula, garam, dan lemak sesuai dengan kebutuhan mereka," kata Adhi dalam keterangan resmi, Rabu (21/8).

Baca juga : Melepas Rindu Kuliner Jadul di Kampoeng Tempo Doeloe 2024, Jajanan Lebih Hemat dengan BRImo!

Gapmmi menegaskan mendukung upaya Pemerintah untuk menciptakan masyarakat lebih sehat lewat PP Nomor 28 Tahun 2024 tersebut, namun dengan beberapa catatan.

"Terkait peraturan ini, Gapmmi  mendukung tujuan baik pemerintah untuk menciptakan masyarakat Indonesia lebih sehat dengan mengurangi Penyakit Tidak Menular tersebut," ujar Adhi.

Gapmmi memandang PP tersebut seolah memberikan seluruh permasalahan Penyakit Tidak Menular (PTM) kepada produsen pangan olahan semata.

Baca juga : Food and Hospitality Indonesia Sukses Menarik Lebih dari 36 Ribu Pengunjung

Padahal, menurut Adhi, faktor risiko PTM disebabkan oleh banyak faktor yang meliputi gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, kurangnya asupan cairan ke dalam tubuh, pengelolaan stres, serta pola konsumsi makanan dan minuman sehari-hari yang tidak seimbang.

Kondisi gangguan kesehatan tidak berasal dari kekurangan atau kelebihan mengonsumsi jenis pangan tertentu sehingga bukan hanya berasal dari konsumsi pangan olahan saja.

Berdasarkan kajian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2019 juga menemukan bahwa produk pangan olahan hanya menyumbang sebagian kecil dari konsumsi gula, garam, dan lemak masyarakat.

Baca juga : Viral Keracunan Permen, Ini Kiat Arahkan Anak Pilih Jajan yang Sehat

Konsumsi masyarakat terhadap gula, garam, dan lemak didominasi oleh Pangan Non-Olahan seperti kuliner dan makanan sehari-hari yang dimasak di rumah tangga sebesar 70%, sementara Pangan Olahan hanya sebesar 30%.

"Menentukan batas maksimal gula, garam, lemak dalam produk pangan olahan saja, tentu tidak akan efektif menurunkan angka penyakit tidak menular, karena konsumsi gula, garam, lemak masyarakat, hanya sebagian kecil yang dikontribusikan oleh produk pangan olahan," jelasnya.

Lebih lanjut, Adhi menjelaskan penentuan satu batas maksimum gula, garam, dan lemak untuk berbagai kategori produk makanan dan minuman akan sangat sulit diterapkan mengingat setiap produk memiliki karakteristik tertentu yang sangat bervariasi.

Baca juga : Selama Juli Terjadi Deflasi, ini Penyumbang Terbesarnya

Gula, garam, dan lemak memiliki fungsi teknologi dan formulasi pangan dimana produsen pangan olahan menggunakan gula, garam, dan lemak dalam produknya untuk berbagai tujuan dan alasan, termasuk rasa, tekstur, dan pengawetan.

Pembatasan kandungan gula, garam dan lemak tentu akan mempengaruhi fungsi teknologi dan formulasi pangan olahan.

PP Kesehatan, dalam salah satu pasalnya membatasi dan/atau melarang penggunaan zat/bahan yang berisiko menimbulkan penyakit tidak menular. Dalam hal ini gula, garam dan lemak termasuk ke dalam bahan yang beresiko menimbulkan penyakit tidak menular.

Pelarangan penggunaan gula, garam, dan lemak dalam produksi pangan sangat tidak dimungkinkan, karena ketiga bahan tersebut memiliki fungsi teknologi dan formulasi pangan.

"Hampir tidak ada produk pangan yg tidak memiliki kandungan gula, garam, dan lemak kecuali air mineral," terang Adhi.

PP Kesehatan ini juga rencananya akan memungut cukai dan pelarangan iklan, promosi, serta sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu, untuk produk-produk pangan olahan yang melebihi batas gula, garam, lemak tersebut.

Adhi menuturkan pemungutan cukai dan pelarangan iklan dan promosi ini akan mengurangi ruang gerak pelaku usaha pangan olahan dalam menjalankan usaha dan menjangkau konsumen sebagai target market dari produk-produknya.

Padahal, Kementerian Perindustrian mencatat industri makanan minuman merupakan salah satu sektor strategis penopang ekonomi nasional dan penyumbang produk domestik bruto (PDB) industri nonmigas sebesar 39,10% dan 6,55% terhadap PDB nasional pada 2023.

"Di tengah perlambatan pertumbuhan industri makanan minuman saat ini, industri makanan minuman akan makin sulit berkembang, kehilangan daya saing, serta berisiko untuk tutup beroperasi dan mengurangi lapangan pekerjaan," pungkasnya. (Ant/Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya