Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Khotbah Idul Fitri, Ketua PP Muhammadiyah Beberkan Fungsi Agama dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Ihfa Firdausya
10/4/2024 18:30
Khotbah Idul Fitri, Ketua PP Muhammadiyah Beberkan Fungsi Agama dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
Ilustrasi: umat muslim melaksanakan Salat Idul Fitri(Dok.MI)

KETUA Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar menyampaikan Khotbah Idul Fitri 1445 H di Alun-alun Selatan Yogyakarta, Rabu (10/4). Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menyoroti salah satu tantangan bangsa Indonesia yakni merajalelanya perilaku korupsi.

“Di antara sejumlah banyak tantangan besar lainnya, adalah masalah patologi sosial yang dapat dikatakan bersifat perenial di dalam kehidupan politik, ekonomi, dan penegakan hukum kita, yaitu merajalelanya perilaku korupsi dan penyalahgunaan kekuasan yang sangat mencederai rasa keadilan masyarakat,” ungkap Syamsul dikutip dari keterangan resmi.

Menurutnya, masalah korupsi merupakan masalah multidimensional dan upaya pemberantasannya harus bersifat multifacet. Syamsul mengatakan bahwa agama dapat difungsikan sebagai bagian dari keseluruhan upaya pemberantasan korupsi melalui pengelolaan batin dan kalbu.

Baca juga : Haedar Nashir Ajak Umat Muslim Bangun Keseimbangan dalam Hidup

“Guna mempertinggi kepekaan nurani untuk menyadari perlunya kita menjauhi hal-hal yang meskipun untuk sementara dapat memberikan kenikmatan sekejap, namun dalam jangka panjang merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan,” jelasnya.

Syamsul mengamini, ada suatu ironi bahwa di tengah-tengah masyarakat kita yang dikatakan relijius dan rajin menjalankan ibadah ternyata praktik korupsi tetap berkembang subur. Dengan itu, tampak tidak ada korelasi berbanding terbalik antara semangat religius itu dengan praktik-praktik koruptif.

“Apakah ada sesuatu yang salah dalam cara kita beragama? Mungkin salah satu sebabnya adalah pengelolaan nurani dan batin kita tidak sebagaimana mestinya,” paparnya.

Baca juga : Prof Najib Jadi Khatib Salat Idul Fitri 1445 H di Masjid Nursiah Daud Paloh

Menurutnya, kita memang menjalankan ibadah secara rutin dan tekun, tetapi mungkin lebih bersifat mekanistik dan lebih merupakan kebiasaan yang baku. Karena itu, ibadah tidak ada ruhnya dan mata hati kita tetap terselubung dan tidak memiliki sensitivitas yang dalam.

Dalam hal tersebut, masyarakat dinilai perlu mempelajari sistem pengawasan tingkah laku yang ditegaskan dalam Al-Quran, yaitu ayat 105 surat At-Taubah. Ayat itu memuat konsepsi pengawasan yang penting dalam kaitannya dengan pengendalian tingkah laku manusia.

Dalam ayat tersebut Allah berfirman, “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang beriman, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’.

Baca juga : Refleksi Ramadan 1445 H, Ketum PP Muhammadiyah Harap Semua Lulus dengan Predikat sebagai Insan yang Bertakwa

Ayat itu, kata Syamsul menegaskan bahwa Allah, Rasul, dan orang-orang beriman (masyarakat) melihat, dalam arti mengawasi, segala apa yang dikerjakan. Pada waktunya di hari akhirat kelak akan diperlihatkan rekam jejak kita selama di dunia.

“Ayat ini memuat tiga serangkai (trilogi) pengawasan dalam ajaran agama Islam, yaitu pengawasan Allah, pengawasan Rasul (institusional), dan pengawasan masyarakat (masyarakat orang mukmin),” jelasnya.

Pengawasan Allah di-konkretisasi melalui pengawasan hati nurani, karena Allah adalah Zat Yang Gaib, tidak hadir secara fisik bersama manusia. Dia hadir melalui keimanan di dalam hati setiap orang beriman. Oleh karena itu pengawasan Allah diimplementasikan melalui penajaman kepekaan hati dan penguatan sensitifitas nurani orang yang beriman kepada-Nya.

Baca juga : Ucapan Taqabbalallahu Minna Wa Minkum di Hari Raya Idul Fitri, Apa Artinya?

Pengawasan Rasul SAW dapat dipandang sebagai pengawasan formal yang dilakukan secara institusional berdasarkan ketentuan hukum syariah. Rasulullah SAW meninggalkan ajaran dalam wujud syariah yang merupakan kumpulan kaidah, norma, dan petunjuk untuk menjalankan hidup dan berbagai aktivitas di dalamnya.

Pengawasan orang-orang beriman, artinya pengawasan oleh masyarakat banyak atau dapat disebut sebagai pengawasan sosial. Pengawasan sosial dilakukan melalui penyampaian kritik yang sehat dan membangun serta pelaporan terhadap berbagai praktik koruptif dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan kita.

“Pada sisi lain para pemangku kekuasaan diharapkan responsif terhadap kritik dan pelaporaan tersebut dan mempunyai niat baik untuk memperbaikinya sebagai bentuk tanggung jawab publiknya dan tidak merasa alergi menghadapi kritik tersebut,” ungkapnya. (Ifa/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya