KPAI Minta Kominfo Blokir Game Online Berbau Kekerasan

Media Indonesia
09/4/2024 04:40
KPAI Minta Kominfo Blokir Game Online Berbau Kekerasan
Ilustrasi--Sejumlah anak sedang bermain game online di warung internet (Warnet) di kawasan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.(MI/ BARY FATHAHILAH)

KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), bertindak tegas terhadap peredaran game online yang terbukti memberikan dampak buruk terhadap anak.

“Sudah seharusnya pemerintah, dalam hal ini Kominfo, segera bertindak, keluarkan regulasi untuk membatasi anak-anak menggunakan game online, terutama game online yang menjurus kekerasan dan seksualitas,” kata Komisioner KPAI, Kawiyan, di Jakarta, dikutip Selasa (9/4).

Kawiyan menilai, sudah banyak kasus yang terjadi akibat dampak game online ke anak, mulai dari kasus pornografi anak di Bandara Soekarno-Hatta, yang dalam perkembangannya juga disangkakan sebagai kejahatan perdagangan orang. Kasus itu awalnya gara-gara game online. 

Baca juga : Game Honkai:Star Rail (HSR) Rayakan Anniversary 1 Tahun

“Selain kasus di Soetta, ada kasus anak membunuh orangtuanya, semua berawal dari game online. Dan, masih banyak lagi kasus-kasus kriminal karena dampak dari game online,” tambahnya.

Kawiyan menegaskan lagi, Kominfo harus segera menerbitkan aturan, apakah itu memblokir game online yang mengandung kekerasan dan seksualitas, atau membatasi penggunaan game online.

“Kominfo harus tegas, blokir atau batasi. Selain itu, peran keluarga dan sekolah juga harus ditingkatkan, orangtua harus ketat mengawasi anak-anak kita saat main game online,” ujarnya.

Baca juga : Cheat Guitar Hero PS2 untuk Membuka Semua Lagu

Ia menegaskan, game-game online yang beredar saat ini seperti game-game perang-perangan.

“Banyak dampak negatif bagi anak-anak kita, sekarang ini banyak anak-anak kita berkata kasar, seperti mampus, sialan karena kalah dan menang di permainan game online. Sungguh sangat berbahaya game online itu bagi anak-anak kita,” ujarnya lagi.

Selain itu, KPAI juga meminta perusahaan gim tersebut ikut bertanggung jawab terhadap dampak buruk yang ditimbulkan ke anak-anak karena memainkan gim tersebut.

Baca juga : Bawaslu Bakal Telusuri Aduan Kampanye Bagi-Bagi Voucher Gim Daring ke Remaja

“Perusahaan gim juga harus bertanggung jawab. Dampak buruknya sudah luar biasa, jadi pemerintah dan kita semua jangan anggap enteng masalah ini, ini sudah serius dan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan khusus soal game-game online ini,” tandasnya.

Ancaman di balik game online

Psikolog Fabiola Audrey Najoan mengungkapkan, pada dasarnya, permainan yang sedang banyak disukai anak-anak, seperti Free Fire, banyak sekali memaparkan atau bahkan memiliki misi-misi kekerasan yang harus diselesaikan.

Anak-anak yang belum memiliki pemahaman yang kuat terkait perilaku terpuji dan tidak terpuji, sangat tidak dianjurkan memainkan permainan seperti ini. Selain sarat akan kekerasan, ada pula permainan online maupun offline yang tanpa disadari bermuatan seksual.

Baca juga : KPAI Dapat Aduan Kampanye dengan Bagi-bagi Voucher Game Online ke Remaja

“Apalagi permainan online tentu disertai dengan adanya chat room, bisa dengan kawan atau orang asing. Saat bertemu dengan orang asing inilah keamanan anak-anak perlu diwaspadai.. Kerena tidak bisa dipungkiri kalau banyak sekali predator seksual yang terkesan baik,” ungkap Fabiola.

“Hal ini bisa disebut sebagai Child Grooming, ketika predator seksual akan mengimingi anak-anak dengan beberapa hal yang mereka suka. Salah satunya gift dalam permainan online untuk memancing rasa percaya dan nyaman dari anak. Setelah anak merasa nyaman, barulah mereka melancarkan aksinya seperti yang baru-baru ini terjadi (kejahatan seksual di Soetta)” tambahnya.

Fabiola mengatakan, selain kekerasan seksual, anak-anak pun tidak dianjurkan untuk memainkan game-game tersebut karena  proses belajar anak-anak itu adalah meniru. Mereka akan mengamati tindakan-tindakan kekerasan dalam game tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Hal ini tenti akan memengaruhi tumbuh kembang anak, mulai dari emosi, perilaku dan kognitifnya. Disarankan game dengan unsur kekerasan ini kalau dalam penelitian, boleh diberikan pada anak usia 13 tahun, maksimal 30 menit/ hari,” ungkapnya.

Fabiola menegaskan, pemeritah harus menaruh perhatian lebih pada permaslahan ini, memperketat aturan untul mengatur penggunaan game online terhadap anak. Selain itu peran orang tua juga vital.

“Tentu butuh peran serta dari pemerintah untuk lebih ketat dalam membatasi akses permainan ini. Namun, yang terutama tetap kontrol dan pengawasan orang tua. Banyak sekali saya jumpai, orangtua sibuk dengan gadget mereka dan menjadikan gadget sebagai jalan pintas supaya anak-anaknya tenang. Yang sering saya sampaikan ke orangtua anak-anak adalah yang dibutuhkan anak-anak bukanlah mainan atau gim. Mainan dan game ini hanyalah media. Yang anak-anak ini butuhkan adalah interaksi antara orang tua dan anak,” tutupnya. (RO/Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya