Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PEMERINTAH tengah menertibkan lahan sawit yang ada di Indonesia guna menindaklanjuti Undang-Undang Cipta Kerja pasal 110A dan pasal 110B. Namun, berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Riau, ada banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan yang telah mendapatkan izin lahan sawit tersebut.
Perwakilan Walhi Riau Umi Ma’rufah mengungkapkan, berdasarkan pemantauannya, mayoritas kegiatan usaha atau aktivitas kebun kelapa sawit yang dilegalkan di Riau adalah milik korporasi. Dari 4,1 juta hektare lahan sawit yang ada di Riau kurang lebih 1,8 juta hektare ada di dalam kawasan hutan dan kebanyakan yang menempati adalah perusahaan.
Adapun, yang mendapatkan skema pengampunan ada sebanyak 453 entitas perusahaan dengan luas 736 ribu hektare. Sementara itu ada 62 entitas koperasi 86 ribu hektare dan masyarakat sebanyak 279 entitas dengan luas 113 ribu hektare.
Baca juga: BPDPKS sebagai Mesin Waktu Petani Kelapa Sawit Naikkan Produktivitas
“Ini menunjukkan ketimpangan yang sangat besar apabila seluruh data ini mendapatkan penyelesaian melalui 110A karena nanti akan mendapatkan insentif pelepasan kawasan dan kita tidak tahu apakah akan memperburuk situasi LHK yang sudah ada,” kata Umi dalam acara Peluncuran Laporan Investigasi, Kamis (7/12).
Seperti diketahui, pasal 110 A menyatakan, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan sebelum UU ini dan belum memenuhi syarat sesuai perundang-undangan berlaku, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak UU ini berlaku. Jika lebih tiga tahun, akan kena sanksi administrasi berupa pembayaran denda administrasi dan atau pencabutan izin berusaha.
Baca juga: Sektor Pertanian Kelapa Sawit Dilanda Krisis SDM
Lalu pasal 110 B menyebutkan, setiap orang yang melakukan pelanggaran tanpa memiliki perizinan berusaha sebelum berlaku UU ini akan kena sanksi administrasi berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administrasi dan atau paksaan pemerintah.
Menurut dia, sebanyak sebelas perusahaan yang masuk identifikasi KLHK di wilayah Riau terbukti melakukan aktivitas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan dengan luas 28 ribu hektare dengan indikasi luas di dalam HGU seluas 15.600 hektare, di HPT seluas 977 hektare, HP selluas 550 hektare dan HPK seluas 14 ribu hektare dan di luar HGU seluas 12 ribu hektare dan di HP seluas 2.027 hektare dan HPK seluas 10 ribu hektare.
Berdasarkan investigasi itu, Walhi juga menemukan banyak kekeliruan yang dilakukan perusahaan. Di antaranya ada satu perusahaan yang melakukan penanaman sawit ulang pascadisahkannya UUCK. Selain itu ada enam perusahana yang tercatat pernah mengalami kebakara lahan dan hutan.
Selain itu, dari sebelas perusahaan yang dipantau, tiga di antaranya membangun kebun sawit dalam kawasan ekosistem gambut fungsi lindung. Di samping itu, tiga perusahaan terbukti menanam di kawasan riparian.
Dari sebelas perusahaan yang dipantau, seluruhnya pun mempunyai riwayat konflik agraria sehingga tindak lanjut identifikasi dengan penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan, persetujuan penggunaan kawasan hutan dan persetujuan kerja sama berpotensi memperbesa konflik agararia dan sumber daya alam.
Dari sebelas perusahaan yang dipantau, hanya tiga perusahana yang mempunyai kelengkapan dan kesesuaian kriteria pasal 110A. Namun, ketiga perusahaan ini memiliki catatan buruk dalam penyelesaian konflik dengan masayrakat, sehingga pemberian kelonggaran atau pemutihan sawit dalam kawsan hutan harus ditinjau ulang.
“Sementara itu terhadap delapan perusahaan lainnya tentu tidak layak mendapat penyelesaian kawasan hutan melalui Pasal 110A karena tidak memenuhi persyaratan memiliki perizinan berusaha dan ketidak sesuaian dengan peruntukan tata ruang,” ucap dia.
“Catatan ini harus menjadi pertimbangan penting dalam pemberian pelepasan kawasan hutan karena pernah melakukan pelanggaran dan kelalaian dalam menjaga areal kerjanya dari karhutla,” beber Umi.
Karenanya, ia merekomendasikan agar KLHK memperketat implementasi pasal 110A dan 110B dengan mempertimbangkan pelanggaran lain yang dilakukan oleh korporasi yang mengajukan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
“KLHK meninjau ulang penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan dan atau persetujuan penggunaan kawasan hutan yang telah diterbitkan. Selain itu perlu menjalankan penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan secara transparan dan memastikan temuan masasyarakat ditindaklanjuti,” bebernya.
Di samping itu, Kementerian ATR/BPN tidak sekadar menjadikan pelepasan kawasan hutan dari hasil implementasi kebijakan Pasal 110A UUCK untuk menjadi satu-satunya dasar penerbitan HGU.
“Selain itu, Kementerian Pertanian perlu menjatuhkan sanksi administrtatif kepada perusahaan yang beraktivitas di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi perizinan berusaha perkebunan,” ucap Umi.
Koordinator Eyes on the Forest (EoF) Nursamsu mengungkapkan, pihaknya telah tiga kali melakukan investigasi sawit dalam kawasan hutan sejak 2018. Adapun, total perusahaan yang dipantau ialah sebanyak 99 perusahaan dengan luas 189.208 hektare. Angka itu sebesar 10,1% dari total 1,8 juta hektare sawit dalam kawasan hutan di Provinsi Riau.
Dalam investigasi itu, EoF juga menemukan bahwa ada banyak perusahaan yang awalnya merupakan perusahaan atau korporasi ditemukan berubah menjadi koperasi.
“Temuan ini mengindikasikan perusahaan menghindari penyelesaian 110B atau pembayaran denda administratif namun berubaya menggunakan penyelesaian 110B atau pengecualian,” ucap Nursamsu. (Z-10)
Pengungkapan kasus ini berawal dari pengaduan masyarakat terkait kegiatan pengelolaan limbah B3 ilegal di kawasan perhutanan sosial, Karawang, Jawa Barat.
Pencapaian PNPB 2021 juga melebihi 121% dari estimasi yakni Rp4,8 triliun menjadi Rp5,88 triliun
PEMBANGUNAN lingkungan hidup dan kehutanan di wilayah Jawa menjadi sangat vital. Pasalnya, pulau Jawa merupakan tumpuan percepatan kegiatan ekonomi nasional.
Salah satu pilar inti ESG (environment, social, and governance) yang dipegang teguh oleh perusahaan adalah berkontribusi pada pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab.
Desa Sukaraja ini dilihat dunia memiliki kesadaran memiliharan lingkungan. menjaga hutan, tidak menebang pohon dan penjagaan hutan lainnya.
Kini, beberapa negara melindungi 30% sampai 2030. Itu tidak cukup cepat
HUTAN tidak hanya kayu. Para petani di pinggiran hutan di Kalimantan Selatan sudah membuktikannya
Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat.
Upaya penamanam pohon langka nusantara itu merupakan bagian komitmen pihaknya untuk menjadi perguruan tinggi berkelanjutan (sustainable university).
Dalam versi asli kala ini, para pakar konservasi mengirimkan 50 ekor macaw Spix dari Jerman ke Brasil dengan target mengembalikan mereka ke habitat asli.
Dalam rekaman video itu, beberapa ekor harimau melintas di depan jebakan kamera. Bahkan, seekor dari mereka menemukan lensa tersembunyi dan mendekat untuk menyelidiki.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved