KASUS kekerasan yang dilakukan Mario Dandy terhadap salah satu anak pengurus GP Ansor, David, ternyata menyebabkan petaka bagi keluarganya. Sudah harus menanggung hukuman bui akibat penganiayaan, kini, orangtua Dandy, Rafael Alun Trisambodo, yang berprofesi sebagai pejabat pajak, juga harus terseret kasus.
Selain harus mengundurkan diri dari jabatannya, Rafael juga menjadi buah pembicaraan masyarakat Indonesia karena kekayaannya yang dinilai tak sesuai dengan profilnya.
Pertanyaan itu muncul karena kebiasaan Dandy yang kerap kali memamerkan harta kekayaan orangtua melalui media sosial. Warganet yang sedang kesal karena kekejian Dandy dalam menyiksa David akhirnya menelusuri kekayaan yang dimiliki orangtua Dandy.
Baca juga: Gemar Flexing Pertanda Punya Masalah Insecurity dan Self-esteem
Setelah diusut, ternyata orangtua Dandy memiliki kekayaan yang terlapor di LHKPN sebesar Rp56,1 miliar. Fakta ini yang kemudian membawa Rafael harus berhadapan dengan KPK untuk menjelaskan harta kekayaan yang dimilikinya.
Fenomena flexing
Fenomena pamer kekayaan di media sosial sering kali dikenal dengan istilah flexing. Biasanya pelaku flexing memamerkan harta kekayaan melalui berbagai platform media sosial yang dimiliki. Pelaku flexing biasanya memerlukan validasi dari orang lain terkait pencapaian yang telah dimiliki.
Selain itu, pelaku flexing memiliki berbagai tujuan lain, misalnya, pada kasus Indra Kenz dan Dony Salmanan. Mereka melakukan flexing sebagai teknik marketing dalam memasarkan produk jasa yang dijual.
Dengan memamerkan harta kekayaan, Indra dan Dony dapat meyakinkan calon pembeli untuk ‘membeli produk’ binary option. Produk yang dijual sebenarnya tidak memiliki kepastian sehingga menyeret Indra dan Dony ke dalam bui.
Teknik marketing ini juga dipakai pemilik akun @Jhon_LBF melalui akun Tiktok-nya. Jhon biasanya memamerkan harta kekayaan untuk menarik pembeli atau calon pengguna jasa. Dengan menunjukkan kemapanan, Jhon berusaha membuat pembeli yakin akan produk yang ditawarkan dirinya dan perusahaannya.
Namun, alasan flexing juga tidak selalu untuk marketing, lo. Ada pula yang melakukan flexing untuk mencari kepuasan diri. Sisca Kohl, contohnya. Ia sering kali memamerkan harta kekayaan melalui media sosial karena merasakan kepuasan tersendiri jika memamerkan harta kekayaan.
Kasus Sisca Kohl mencerminkan flexing juga dapat dilakukan untuk mendapatkan validasi atau pengakuan dari dunia luar. Selain itu, perhatian dari masyarakat biasanya membuat pelaku flexing merasa berpuas diri.
Dengan hal tersebut, pelaku flexing merasa pencapaian yang dilakukan dalam hidupnya tidak terasa sia-sia.
Lebih baik dihindari
Perilaku flexing memang dapat memberikan kepuasan bagi orang itu sendiri. Namun, ada baiknya perilaku ini dapat dihindari. Hal ini penting dilakukan karena kita tidak pernah mengetahui apakah orang lain senang atau tidak dengan tindakan yang kita lakukan.
Sebenarnya banyak cara untuk menghindari keinginan melakukan flexing. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol diri dalam menunjukkan hal-hal yang terjadi pada diri Anda dan pikirkan dampak baik serta buruknya sebelum melakukan flexing dan mengubah mindset dengan fokus memahami diri mengenai kekuatan dan kelebihan yang dimiliki daripada fokus untuk pamer.
Cara tersebut mungkin dapat dilakukan untuk menghindari keinginan melakukan flexing di media sosial walaupun sebenarnya sah-sah saja jika Anda ingin melakukan flexing. Namun, kekuatan mental juga harus Anda miliki sebelum memutuskan untuk mem-posting atau memamerkan harta benda yang Anda miliki. Ingat, kita tidak pernah bisa mengontrol warganet. Yang bisa kita lakukan hanya mengontrol perilaku kita sendiri agar dapat bermedia sosial dengan baik. (Z-1)