Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PAKAR psikologi sosial dari Universitas Indonesia Dicky C Pelupessy menilai orang yang menunjukkan perilaku flexing atau pamer kekayaan di media sosial cenderung memiliki masalah insecurity atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.
"Sebenarnya, kalau kita lihat dari kacamata psikologis, di situ ada problem dengan self-esteem orang tersebut. Ada problem dengan rasa aman, rasa nyamannya, jadi ada insecurity yang kemudian dia cari kompensasinya," kata Dicky, dikutip Senin (27/2).
Pada prinsipnya, jelas Dicky, setiap manusia memiliki self atau diri atau dapat diterjemahkan sebagai kesadaran tentang dirinya sendiri yang menjadi penggerak dari perilaku seseorang.
Baca juga: Hindari Sifat Pamer dengan Menjadi Orang yang Sederhana
Ketika kesadaran diri dan rasa penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah, seseorang ingin mendapatkan pengakuan dan pujian bahwa dirinya lebih baik yang datang dari luar dirinya atau orang lain.
Yang menjadi masalah, sebagian orang merasa flexing bisa dijadikan sebagai cara kompensasi untuk mendapatkan pengakuan tersebut.
"Dia berusaha mengompensasi dengan cara flexing. Dia pikir kalau, 'Saya punya harta benda yang mahal, yang mungkin tidak semua orang bisa miliki, terbatas', dia pikir itu akan membuat dia akan dinilai orang lebih baik dan lebih hebat. Kemudian nanti, 'Saya akan mendapat pengakuan sehingga saya merasa aman dan nyaman'," jelas Dicky.
Apabila seseorang tidak bisa berdamai dengan dirinya, orang tersebut akan merasa cemas terus-menerus, termasuk merasa tidak aman dan rendah diri terus-menerus. Jika hal ini terus ditumpuk, akan menimbulkan masalah secara psikologis.
Agar tidak terjebak pada perilaku flexing, menurut Dicky, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan dengan menerapkan counter thinking dan berpikir sejenak sebelum mengambil tindakan.
Pertama, posisikanlah diri sendiri sebagai audiens atau orang lain yang akan melihat dan merespons unggahan flexing di media sosial.
Kedua, carilah cara kompensasi lain yang mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan harga diri selain flexing.
"Memikirkan kira-kira apa, sih, reaksi orang ketika melihat saya flexing. Apakah kemudian beneran mereka akan memuji-muji saya, membuat saya terasa lebih hebat. Ataukah kemudian sebetulnya orang biasa saja (tidak memuji)," terang Dicky.
Menurut Dicky, orang-orang terdekat juga bisa turut andil untuk menegur atau mengingatkan bahwa perilaku flexing tidak selalu berujung mendapatkan pujian dan justru akan mendapat cibiran dan publik menganggapnya biasa saja.
"Kalau kita jadi orang yang kenal dekat, tidak apa-apa mengingatkan. Bahwa 'Kalau kamu memamerkan kekayaan, itu tidak lantas membuat orang terkesan, bahkan mungkin bisa jadi yang kamu dapatkan adalah cibiran. Dan mungkin orang akan menganggap itu sesuatu yang biasa saja'," kata Dicky. (Ant/OL-1)
Orang yang melakukan flexing biasanya ingin terlihat sukses dari apa yang dia miliki untuk membangun citra orang terhadap dirinya atau agar dia mendapat pengakuan dari komunitasnya.
PERAYAAN ulang tahun Kapolda Kalimantan Selatan (Kalsel) Irjen Rosyanto Yudha Hermawan menjadi sorotan publik. Pasalnya, anak Kapolda Kalsel, Ghazyendha Aditya Pratama, flexing.
Komisi III DPR RI meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegur Kapolda Kalsel Irjen Polisi Rosyanto Yudha Hermawan buntut aksi anaknya yang memamerkan gaya hidup mewah alias flexing.
Kaesang sudah pisah kartu keluarga dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak menikah dengan istrinya, Erina Gudono. Kelakuan Kaesang kini tidak menjadi tanggung jawab Jokowi.
Hal ini terutama jika pihak tersebut memiliki kepentingan tertentu yang bisa dipengaruhi oleh keputusan ayahnya sebagai Presiden.
KOMENTAR Dwi Okta Jelita, istri Kepala Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Kabupaten Bintan, Kepri, tengah menjadi viral di media sosial.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved