Penyelewengan dan praktik suap yang sering terjadi di lingkungan perguruan tinggi bukanlah hal baru. Kasus suap yang terjadi pada Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani merupakan puncak gunung es dari sistem pendidikan Indonesia yang korup.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengungkapkan bahwa sudah sejak lama terjadi penyelewengan pada pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru (PMB) di perguruan tinggi negeri (PTN). Secara khusus pada jalur seleksi mandiri, potensi korup sangat besar terjadi.
Untuk mencagahnya, kata Indra tidak sebatas dengan mengubah regulasi saja. Sistem pendidikan yang korup dan berlangsung lama butuh upaya yang lebih besar untuk memulihkannya, yakni melalui revolusi sistem pendidikan.
"Gak bisa hanya dari sisi regulasi tapi memang harus revolusi sistem pendidikan nasional kita," ujarnya kepada Media Indonesia, Minggu (19/2).
Dijelaskannya, revolusi dilakukan bukan hanya di lembaga pendidikan tinggi saja. Harus dimulai sejak jenjang pendidikan dasar.
Revolusi yang dimaksud adalah mengembangkan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Lantas, mengubah mindset masyarakat merupakan tantangan terbesar dalam upaya tersebut.
"Gak bisa dimulai di dikti saja, harus mulai di dasar. Tujuan kuliah saja sudah salah kok, gimana mau ada perbaikan," imbuhnya.
Bagi Indra, memperketat regulasi yang ada tidak akan mengubah perilaku korup. Sebab, mindset yang menilai bahwa untuk mencapai kesuksesan harus melakukan suap atau sogok akan terus berkembang atau pun mencari celah dari berbagai peraturan yang ada.
"Kampus di Indonesia ternyata bukan tempat cari ilmu tetapi tempat cari stempel, cari gelar. Kalau masuk kita nyogok kira-kira keluar nyogok juga gak? Pasti nyogok juga kan. Kalau itu terjadi lalu apa yang dia lakukan selama kuliah? Gak ada kan," terangnya.
"Itu kan sangat bertolak belakang dengan konsep pendidikan itu sendiri. Pendidikan kan mengajarkan integritas, kerja keras," tambah Indra.
Sementara itu, konsultan pendidikan dan karier Ina Liem menilai bahwa upaya untuk mencegah korup pada seleksi mandiri masuk PTN sebenarnya sudah ada dan cukup banyak. "Sebetulnya dari Kemendikbud-Ristek sudah ada upaya-upaya kesana yaitu meminta transparansi untuk jalur mandiri. Tapi perlu ada audit, tidak hanya dari pemerintah tapi juga dari masyarakat," kata dia.
Di zaman modern yang serba digital, lanjutnya, peran masyarakat atau pun netizen sangat penting. Masyarakat bisa ambil bagian dalam mendorong PTN untuk lebih transparan. Data-data bisa dibuka untuk diketahui publik, termasuk biaya-biaya seleksi atau pun kuliah.
"Mari kita pantau bersama, kita desak PTN untuk lebih transparan. Harusnya ada biaya fix yang tertera di website masing-masing universitas dan jurusan, ada syarat masuk yang jelas, minimal nilai yang diminta jelas. Jadi masyarakat yang menemui kasus teman diterima padahal tidak memenuhi syarat jadi bisa lapor dan pemerintah bisa investigasi," pungkasnya. (OL-8)