Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
INDONESIA memang sudah memiliki regulasi untuk melindungi korban kekerasan seksual. Namun sampai hari ini Undang-Undang Tindak Pidana Kekersan Seksual (UU TPKS) yang telah dinomori menjadi UU No. 12 Tahun 2022 masih belum memiliki peraturan pelaksananya.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah menyampaikan agar pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana UU TPKS dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Selain itu Aminah juga berharap penyusunan peraturan pelaksanan itu dilakukan dengan membuka partisipasi masyarakat, penyintas kekerasan seksual dan lembaga layanan agar dapat memberi masukan.
“Hal pertama yang dilakukan setelah dinomori ya pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana UU TPKS. Komnas Perempuan juga mengharapkan penyusunannya peraturan pelaksana itu pemerintah membuka ruang partisipasi bermakna bagi korban, penyintas, lembaga layanan, lembaga nasional HAM untuk memberikan saran dan masukan,” kata Aminah kepada Media Indonesia, Jum’at (3/6).
Tak bisa dipungkiri, angka kasus kekerasan seksual terus bertambah, tetapi hadirnya UU TPKS dinilai belum memberikan dampak yang signifikan bagi perlindungan korban kekerasan seksual.
Seperti misalnya kasus kekerasan seksual pada anak di Sragen, Jawa Tengah yang ditangani oleh Sri Nurherwati dari Yayasan Sukma. Nur menyebut kasus itu menjadi sulit untuk memberikan keadilan bagi korban karena dianggap tidak berlaku surut. Semua kejadian kekerasan seksual yang terjadi sebelum UU TPKS disahkan, tidak dapat menghukumi perbuatan di masa lalu.
“Saat ini ada beberapa kasus yang sulit, karena dianggap tidak berlaku surut. Ini kasus yang Sragen sudah dua tahun belum ditetapkan sebagai tersangka korban anak. Untuk tindak pidana mengacu UU PA spasal 4 sudah diakui sebagai TPKS, sehingga hak-hak dan hak acara menggunakan UU TPKS. Tapi karena hukum tidak berlaku surut tadi, sampai sekarang belum ditetapkannya pelaku sebagai tersangka karena belum cukup bukti,” ungkap Nur.
Saat ini Nurherwati bersama lembaga layanan dan LSM sedang berupaya untuk mendorong tindak lanjut dari UU TPKS. Sejauh ini, kata Nur belum ada yang dapat dilakukan selain melakukan sosialisasi sembari memperbaik SOP penanganan kasus dengan menggunakan UU TPKS.
“Saat ini semua pihak hanya bisa sedang mendorong tindak lanjut UU TPKS melalui sosialisasi agar ada kesepemahaman terhadap UU TPKS. Sambil memperbaiki SOP agar dapat segera digunakan dalam penanganan kasus. Lalu menyiapkan bahan isi substansi PP, Perpres agar dapat diimplementasikan,” lanjut dia.
Baca juga: Kebiasaan Merokok di Usia Muda Picu Penyakit Nonmenular
Diketahui Peraturan Pelaksana yang dimandatkan harus selesai dua tahun dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yaitu:
(1) PP Sumber, Peruntukan, dan Pemanfaatan Dana Bantuan Korban;
(2) PP Penghapusan dan/ Pemutusan Akses Info Elektronik dan/ Dokumen Elektronik Bermuatan TPKS;
(3) PP Tatacara Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan;
(4) PP Pencegahan TPKS;
(5) PP Koordinasi dan Pemantauan;
(6) Perpres Tim Terpadu;
(7) Perpres Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di Pusat;
(8) Perpres UPTD Perlindungan Perempuan Anak;
(9) Perpres Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan;
(10) Perpres Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS. (OL-4)
Komnas Perempuan mengecam dan menyayangkan mediasi damai dalam kasus kekerasan seksual terhadap N.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa selain proses hukum pada pelaku, pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan bagi korban harus dilakukan.
Komnas Perempuan menyoroti praktik penyiksaan seksual yang melibatkan aparat penegak hukum. Laporan tahunan lembaga tersebut mencatat setidaknya ada 13 kasus penyiksaan seksual di 2024
Langkah itu, kata dia, juga bentuk keseriusan Polri dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan yang yang cenderung meningkat secara sistematis.
Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana dan Komnas Perempuan menanggapi pernyataan Fadli Zon soal pemerkosaan massal.
Komnas Perempuan meminta DPR dan pemerintah segera mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.
BERBAGAI upaya menekan angka kasus kekerasan berbasis gender harus segera dilakukan demi mewujudkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi setiap warga negara.
PERNYATAAN cawagub Jakarta nomor urut 1 Suswono, agar janda kaya menikahi pengangguran dianggap sebagai seksisme oleh Komnas Perempuan.
Perempuan, yang secara tradisional berperan dalam mengelola air di rumah tangga, menjadi kelompok yang paling terdampak saat air sulit didapatkan.
Kemen PPPA mendorong penguatan untuk Pokja PUG (Pengarusutamaan Gender) di Kabupaten Garut.
Dari laporan yang ada, menyebutkan bahwa tindak kekerasan terjadi di lingkungan keluarga dan biasanya pelaku adalah orang dekat dengan korban.
KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan bahwa peristiwa perampasan hak asuh anak oleh mantan suami dikenali sebagai tindak kekerasan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved