Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
KEPALA Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K Lukito menyesalkan produsen air kemasan yang keras kepala menentang rencana pelabelan risiko Bisfenol A atau BPA--bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan--pada galon guna ulang meski dengan dasar pemahaman yang salah.
"Memang ada beberapa pihak, ini industri-industri tertentu, yang merasa akan dirugikan padahal dengan pandangan yang salah," katanya dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat, pekan lalu. Menurut Penny, regulasi pelabelan risiko BPA tersebut sangat penting untuk kesehatan publik dan karena itulah BPOM berkomitmen memperjuangkan pengesahannya.
"Draf peraturan pelabelan BPA sebenarnya sudah selesai harmonisasi di Kementerian Hukum. Kami juga sudah menulis surat ke Presiden Joko Widodo, melalui Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara, meminta agar draf tersebut segera difinalkan," katanya menjawab pertanyaan Dewan yang cemas rancangan peraturan tersebut kandas akibat lobi-lobi gelap sejumlah pihak.
Penny bilang, senyampang menunggu pengesahan, BPOM segera melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat terkait potensi bahaya BPA pada galon guna ulang. "Kegiatan itu akan paralel dengan proses pengesahannya," katanya.
Dalam rapat di Senayan pada 4 April itu, Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai NasDem, Ratu Ngadu Bonu Wulla, mendesak BPOM segera menerbitkan regulasi pelabelan BPA pada semua kemasan pangan, termasuk pada air minum kemasan. Dia menyitir hasil penelitian terkait risiko BPA pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat.
"Penelitian mengatakan bahwa kelompok rentan, yakni bayi usia 6-12 bulan, berisiko 2,4 kali dan anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok dewasa usia 30-64 tahun," katanya. "Artinya apa? Pelabelan sudah mendesak dan tepat supaya bayi, balita, dan janin tidak mengonsumsi air galon guna ulang."
Ratu Ngadu menjelaskan residu BPA pada galon guna ulang bisa berpindah dari kemasan ke air akibat sejumlah faktor, termasuk paparan sinar matahari. "Semakin tinggi suhu dan lama durasi kontak semakin banyak BPA yang dapat mencemari makanan atau minuman," katanya.
Yang mengkhawatirkan, lanjutnya, BPA yang melebihi ambang batas memiliki efek samping buruk untuk tubuh jika sampai termakan atau terminum dari kemasan yang digunakan. "Efek samping bisa muncul yaitu peningkatan risiko penyakit jantung, kanker, kelainan organ hati, diabetes, dan gangguan otak, serta perilaku pada anak kecil," katanya.
Hasil uji post-market BPOM pada Januari 2022 atas level migrasi BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Ini peringatan pertama BPOM setelah lima tahun berturut-turut sebelumnya lembaga menyatakan migrasi BPA pada galon guna ulang masih di level yang aman.
Menurut Ratu Ngadu, regulasi pelabelan BPA penting untuk memastikan mutu dan keamanan galon yang beredar luas di masyarakat. Regulasi serupa, katanya, bisa meningkatkan kesadaran pelaku usaha atas pentingnya informasi yang akurat dan lengkap dari produk pangan serta untuk memproduksi pangan yang berkualitas, aman dikonsumsi, dan mengikuti standar yang berlaku.
Lebih jauh dia meminta BPOM mewaspadai manuver sejumlah pihak yang mungkin berupaya menjegal lahirnya peraturan pelabelan risiko BPA. "Pihak-pihak tersebut sejatinya kelompok yang lebih mementingkan keuntungan semata tanpa memikirkan dampak kesehatan masyarakat," katanya.
Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan, organisasi lobi industri air kemasan, termasuk yang vokal menyatakan penentangan terbuka atas rencana pelabelan risiko BPA yang digulirkan BPOM. Pejabat asosiasi kerap menggambarkan inisiatif tersebut sebagai 'vonis mati' atas industri yang sebagian besar produknya menggunakan galon kemasan plastik keras polikarbonat. Menurut asosiasi, bila pelabelan sampai disahkan, publik bakal beralih ke galon dengan kemasan plastik lunak yang bebas BPA.
Namun Ratu Ngadu menepis argumen itu. Menurutnya, pelabelan risiko BPA tidak akan berpengaruh pada pasar. Dia mencontohkan penjualan rokok yang telah melejit meski pemerintah mewajibkan pemasangan label bahaya merokok di setiap kemasan yang beredar di pasar. "Yang terpenting negara harus hadir untuk memberikan edukasi dan mengingatkan pada masyarakat terkait bahaya BPA," katanya.
Baca juga: Pemerintah Pertebal Bansos dan Tingkatkan Alokasi KUR
Draf peraturan BPOM tentang pelabelan risiko BPA antara lain mengharuskan produsen galon yang menggunakan kemasan plastik keras polikarbonat memasang label Berpotensi Mengandung BPA terhitung tiga tahun sejak peraturan disahkan. Adapun produsen yang menggunakan galon dengan kemasan selain polikarbonat, diperbolehkan memasang label Bebas BPA.
(RO/OL-14)
Badan POM juga telah memperkenalkan label Pilihan Lebih Sehat sejak 2019. Sayangnya, label itu dinilai belum mampu secara langsung menunjukkan kadar GGL dalam produk makanan.
Membaca label gizi pada kemasan makanan dan minuman menjadi langkah penting untuk mengontrol asupan gula harian.
Mengonsumsi makanan dan minuman dengan kandungan gula tinggi dapat memicu obesitas serta meningkatkan risiko penyakit kronis seperti diabetes.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) dan International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) melanjutkan penggarapan tahap pilot project implementasi e-labeling.
Kewajiban penerapan nutri-level juga akan dibuat sejalan antara pangan olahan yang ditetapkan oleh Badan POM dengan pangan olahan siap saji yang ditetapkan oleh Kemenkes.
Diabetes menjadi salah satu penyakit yang kian umum, terutama akibat konsumsi gula berlebih dari makanan Ultra Processed Food (UPF).
ANGGOTA Komisi VII DPR RI, Eva Monalisa menyayangkan adanya pasal yang melarang produksi dan distribusi air minum kemasan dalam SE Gubernur Bali.
PRODUK nasional semakin membuktikan dominasinya di pasar domestik yang ditunjukkan dari preferensi masyarakat bergeser, dan konsumen semakin banyak untuk memilih dan mengutamakan produk dalam negeri.
Air bisa saja mengandung zat berbahaya seperti mikroplastik dan BPA (Bisphenol A) yang dapat memicu berbagai masalah kesehatan.
KOMUNITAS Konsumen Indonesia (KKI) mengungkap temuan mengejutkan terkait distribusi air minum dalam kemasan galon guna ulang oleh market leader.
Dengan suhu udara yang mencapai puncak di siang hari, paparan sinar matahari dapat memengaruhi kualitas produk Air Minum dalam Kemasan (AMDK).
Menurut Sekretaris Jenderal Asparminas, Nio Eko Susilo, hal itu juga sejalan dengan tren penggunaan galon air minum bermerek yang bebas dari risiko kontaminasi senyawa kimia berbahaya BPA.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved