Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Pakar: Pemahaman Keagamaan Turut Menyumbang Kekerasan Terhadap Perempuan

Dinda Shabrina
25/3/2022 08:45
Pakar: Pemahaman Keagamaan Turut Menyumbang Kekerasan Terhadap Perempuan
Aktivis Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Perempuan melakukan unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Selasa (8/3/2022)(ANTARA/NOVRIAN ARBI)

GURU Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Amin Abdullah Prof. Dr Amin Abdullah, menyampaikan pemahaman keagamaan turut menyumbang kekerasan terhadap perempuan. Ia juga membenarkan masih banyaknya bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan akibat masih banyaknya masyarakat yang belum dapat membedakan antara agama dan pemahaman agama.

“Agama itu suci, sakral dan absolut. Sementara pemahaman keagamaan, penafsiran agama atau keislaman adalah relatif. Sehingga kata Amin, pemahaman keagamaan ini bisa menimbulkan dampak yang baik, tetapi bisa juga sebaliknya. Semua tergantung dari bagaimana perspektif penafsir keagamaan,” kata Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Amin Abdullah, Kamis (24/3) dalam diskusi “Upaya Wacana Keagamaan dalam Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja” yang diselenggarakan Rumah KitaB.

Baca juga: PT Asabri Beri Bantuan 2000 Masker Bagi Pasar Induk Kramat Jati

Mengacu pada hasil temuan Lembaga Riset Sosial Keagamaan, Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), Amin Abdullah mengakui ajaran agama cukup berpengaruh dalam mempasifikasi perempuan agar tidak berontak saat menghadapi beban ganda dalam keseharian.

Ajaran agama yang disebut mengakibatkan beban ganda dalam penelitian Rumah KitaB adalah anggapan bahwa mencari nafkah adalah mubah (tidak wajib) bagi perempuan. Sementara mengurus rumah tangga adalah kewajiban. Selain itu dalam temuannya, Rumah KitaB juga menyebutkan hampir tidak ada narasi yang mengatakan perempuan boleh bekerja karena passion, aktualisasi diri maupun keahlian. Perempuan hanya dibenarkan bekerja sebagai cara mengatasi kedaruratan atau membantu suami apabila perekonomian tidak tercukupi.

“Memang, pemahaman agama seperti yang saya kutip dari hasil penelitian Rumah KitaB, masih sulit sekali bergeser. Kekerasan, bias-bias itu masih langgeng. Dan yang bikin nggak nyaman, bias-bias itu umumnya bersandar pada ayat-ayat kitab suci dan hadis,” ucap Amin.

Peneliti Rumah KitaB, Achmat Hilmi, memaparkan hasil temuannya Ia menjelaskan beberapa bentuk pemahaman agama yang menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan. Seperti melarang perempuan bekerja, menyebut kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, perempuan adalah fitnah dan sebaik-baik perempuan adalah yang tinggal di rumah.

“Perempuan dianggap sumber fitnah, karena dia sumber fitnah maka dia ditarik kembali ke dalam rumah berdasarkan cara pandang yang tidak setara itu. Karena perempuan sumber fitnah, ya berarti kodratnya di rumah. Perempuan di rumah saja, tidak boleh kemana-mana,” kata Peneliti Rumah KitaB, Achmat Hilmi, Kamis (24/3).

Selain itu Hilmi juga menambahkan sekalipun perempuan bekerja, baik pekerjaan domestik maupun publik, pekerjaan itu dianggap tidak begitu berarti.

“Pekerjaan perempuan seringkali tidak begitu berarti. Karena dia dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, atau konco wingking tadi. Begitu juga pekerjaan domestik di rumah, pekerjaan itu dianggap tidak ada artinya karena dalam pemahaman agama itu kewajiban mutlak perempuan.,” pungkas Hilmi. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya