Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PESINETRON Aliando Syarief mengungkapkan, dirinya didiagnosis menderita obsessive compulsive disorder (OCD), selama dua tahun terakhir. Gangguan mental ini membuat dirinya tak bisa beraktivitas secara normal. Aliando mengaku, gejala penyakit OCD yang dialaminya tergolong ekstrem sehingga perlu pengobatan menyeluruh . Kondisi ini memaksa dirinya mulai jarang tampil di layar kaca.
Spesialis kedokteran jiwa, dr. Zulvia Oktanida Syarif menjelaskan OCD ialah sejenis gangguan mental yang ditandai dengan adanya gejalan obsesi (pikiran yang terjadi berulang) dan kompulsi (tindakan yang berulang). Namun, belum diketahui penyebab pastinya.
"Orang dengan OCD memiliki gejala obsesi, kompulsi, atau keduanya. Gejala-gejala ini dapat mengganggu semua aspek kehidupan, seperti pekerjaan, sekolah, dan hubungan pribadi,” kata Zulvia dalam diskusi virtual dilansir beberapa waktu.
Baca juga: BMKG: Dinamika Atmosfer Menuju Normal di Tengah La Nina
Obsesi adalah pikiran yang berulang, dorongan, atau gambaran mental yang menyebabkan kecemasan. Sementara itu, kompulsi adalah perilaku berulang seseorang dengan OCD merasakan dorongan untuk melakukan dalam menanggapi pemikiran obsesif. Kompulsi umum termasuk pembersihan berlebihan atau mencuci tangan, memesan, dan mengatur sesuatu dengan cara yang khusus dan tepat. Pengidap juga bisa berulang kali memeriksa berbagai macam hal, seperti memeriksa pintu apakah sudah terkunci.
Gejala bisa datang dan pergi, mereda seiring waktu, atau memburuk. Meskipun sebagian orang dewasa dengan OCD menyadari apa yang mereka lakukan tidak masuk akal, tetapi ada orang dewasa dan sebagian besar anak yang tidak menyadari bahwa perilaku mereka di luar kebiasaan. Orangtua atau guru biasanya mengenali gejala OCD pada anak-anak.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya OCD pada seseorang. Salah satunya, muncul stressor pada penderita OCD. Stressor adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respons stres. "Stressor ini berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial,” ujarnya.
Dia menjelaskan OCD dapat muncul pada usia 10 tahun hingga 24 tahun, bahkan bisa mulai dari dari SD atau SMP. Kondisi ini sangat mengganggu aktivitas bagi penderitanya. Bahkan ketika stressor tersebut muncul saat dewasa, dapat membuat kondisi penderitanya semakin berat.
"Menurut penelitian, faktor risiko OCD yang berasal dari faktor biologis ialah adanya ketidakseimbangan neurotransmitter di otak. Faktor lain adalah faktor genetik, pola asuh, perkembangan anak, dan faktor stressor sosial,” sebutnya.
Zulvia menjelaskan penanganan pada penderita OCD harus komprehensif atau menyeluruh dengan pemberian obat untuk menyeimbangkan neurotransmitter di otak yang menyebabkan adanya obsesi dan kompulsi.
"Penanganan kedua dengan psikoterapi yang merupakan suatu jenis terapi, dimana penderita akan dibantu oleh terapis untuk mengatasi obsesi dan kompulsi. Salah satu jenis dari terapi tersebut adalah CBT atau terapi perilaku kognitif,” paparnya.
Tidak ada cara yang pasti untuk mencegah gangguan obsesif-kompulsif. Namun, mendapatkan pengobatan sesegera mungkin bisa membantu mencegah OCD memburuk dan mengganggu kegiatan dan rutinitas pengidap sehari-hari.(H-3)
Kemacetan di jalan menjadi salah satu tantangan bagi para pemudik. Kondisi ini kerap memicu stres. simak kiat berikut untuk mengatasinya
Perfeksionisme pada remaja perempuan sering kali mengakibatkan stres, tekanan berlebihan, dan keterbatasan dalam kreativitas.
Mengubah fokus dari hasil ke proses, memberikan dorongan positif, dan menetapkan tujuan realistis adalah kunci membantu anak perempuan mengelola perfeksionisme.
Seringkali, bangun di pagi hari dengan perasaan yang tidak enak tanpa alasan yang jelas bisa jadi akibat dari tidur yang kurang nyenyak di malam hari.
Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Fabiola Priscilla memberikan beberapa tips untuk mengatasi tekanan menjelang hari pertama anak kembali bersekolah
Dokter spesialis neurologi, dr. Restu Susanti, Sp.N(K). M.Biomed menjelaskan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami migrain dibandingkan laki-laki.
Keluar dari zona nyaman bukan hal yang mudah, tapi penting meningkatkan kualitas hidup seseorang. Simak tips untuk keluar dari zona nyaman.
Proyek penelitian yang dipimpin University College London (UCL) mengeksplorasi efektivitas resep sosial dalam mengurangi kesepian dan meningkatkan kesejahteraan di anak-anak 9-13 tahun.
Tanamkan hal positif tentang sekolah, misalnya banyak teman untuk bermain, hindari memberikan tuntutan berlebihan pada anak.
Ibu yang mengalami baby blues diminta berusaha mengungkapkan emosi yang dirasakan kepada pasangan maupun orang-orang terdekat agar bisa segera mengatasi masalah tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved