Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
DI seluruh dunia, anak perempuan lebih mungkin daripada anak laki-laki untuk menyalahkan kegagalan akademis karena kurangnya bakat. Ini menurut suatu penelitian besar tentang stereotip gender yang diterbitkan Rabu (9/3).
Paradoksnya, gagasan bahwa laki-laki secara inheren lebih cemerlang paling mengakar di negara-negara yang lebih egaliter. Stereotip semacam itu telah dieksplorasi di masa lalu. Namun karya terbaru, yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances, memiliki kelebihan mencakup 500.000 siswa di seluruh dunia, sehingga memungkinkan untuk membandingkan antarnegara.
Itu menggunakan data dari Program for International Student Assessment (PISA) 2018, penelitian yang dilakukan setiap tiga tahun untuk mempelajari lebih lanjut tentang pengetahuan dan keterampilan siswa berusia 15 tahun dalam matematika, membaca, dan sains. Survei 2018 memasukkan kalimat, "Ketika saya gagal, saya takut saya tidak memiliki cukup bakat."
Hasilnya, di 71 dari 72 negara yang diteliti, bahkan ketika kinerjanya setara, anak perempuan lebih cenderung mengaitkan kegagalan mereka dengan kurangnya bakat daripada anak laki-laki, yang lebih cenderung menyalahkan faktor eksternal. Satu-satunya pengecualian ialah Arab Saudi.
Bertentangan dengan yang diharapkan, perbedaan paling menonjol di negara-negara kaya. Di negara-negara kaya OECD, 61% anak perempuan setuju dengan pernyataan itu. Ini lebih besar dibandingkan dengan 47% anak laki-laki. Ada selisih 14%.
Di negara-negara non-OECD, kesenjangan masih ada, tetapi perbedaannya hanya 8%. Perbedaannya juga lebih besar di antara siswa yang berkinerja lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berkinerja rata-rata.
"Kami tidak memiliki penjelasan yang sempurna untuk paradoks ini," rekan penulis studi Thomas Breda, dari CNRS dan Sekolah Ekonomi Paris, mengatakan kepada AFP. Namun keanehan yang tampak telah diamati sebelumnya, semisal dalam hal kepercayaan diri serta anak laki-laki lebih cenderung belajar sains dan matematika.
Ini menunjukkan, menurut Breda, bahwa sebagai negara berkembang, norma-norma gender tidak hilang, tetapi mengonfigurasi ulang diri mereka sendiri. Satu hipotesis yakni negara-negara dengan lebih banyak kebebasan pada akhirnya meninggalkan lebih banyak ruang bagi individu untuk jatuh kembali ke stereotip lama.
Negara-negara ini juga sangat fokus pada kesuksesan individu sehingga menempatkan premi yang lebih besar pada gagasan tentang bakat itu sendiri. Dalam masyarakat yang tidak memberikan banyak nilai pada bakat, ada lebih sedikit ruang bagi orang untuk menerapkan stereotip.
Para peneliti lebih lanjut menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara gagasan menjadi kurang berbakat dan tiga indikator lain yang dipelajari sebagai bagian dari survei PISA. Semakin rendah bakat yang diyakini anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki, semakin rendah kepercayaan diri yang mereka miliki, semakin sedikit mereka menikmati persaingan, dan semakin kecil keinginan mereka untuk bekerja dalam pekerjaan yang didominasi laki-laki seperti teknologi informasi dan komunikasi.
Ketiga indikator tersebut sering disebut-sebut sebagai alasan yang dapat berkontribusi pada keberadaan langit-langit kaca yang menghalangi perempuan untuk mengakses posisi tertinggi. Secara keseluruhan, hasilnya, "Menunjukkan bahwa langit-langit kaca tidak mungkin menghilang ketika negara-negara berkembang atau menjadi lebih egaliter gender," kata para penulis dalam makalah tersebut.
Solusi yang diusulkan, "Berhentilah berpikir tentang bakat bawaan," kata Breda. "Sukses datang dari belajar melalui trial and error. Jika kita mendekonstruksi konsep bakat murni, kita juga akan mendekonstruksi gagasan bahwa anak perempuan secara alami diberkahi dengan bakat daripada anak laki-laki." (AFP/OL-14)
Menghitung domba untuk tidur adalah praktik yang terkenal, tetapi apakah itu benar-benar membantu Anda tidur?
Dua studi yang dipimpin oleh Leonie Balter dari Universitas Stockholm menyoroti pentingnya tidur dalam memengaruhi seberapa tua atau muda seseorang merasa.
Survei Gallup dan Walton Family Foundation menemukan kebahagiaan generasi Z menurun ketika memasuki usia dewasa.
Studi baru menunjukkan peningkatan signifikan dalam komplikasi penyakit terkait alkohol di kalangan perempuan paruh baya selama periode pandemi covid-19.
Studi menunjukkan suhu yang tinggi dapat mengganggu proses tidur, terutama bagi individu yang rentan terhadap insomnia.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan pembatasan kalori dan puasa intermiten dapat memperpanjang umur hewan, tetapi apakah hal ini berlaku juga untuk manusia?
Peneliti bukan hanya dituntut untuk bisa menjalankan penelitiannya dengan baik di dalam laboratorium, tetapi juga harus memahami cara berkomunikasi yang baik
Para perempuan ini dinilai telah membawa dampak positif dan kemajuan di bidang kesehatan kulit.
Studi menunjukkan bahwa screen time/waktu layar untuk anak-anak kecil melonjak dari hanya lima menit sehari pada tahun 2020 menjadi 55 menit sehari pada tahun 2022.
Proses meditasi juga bermanfaat bagi fungsi kognitif otak. Seseorang tidak memerlukan waktu lama dalam bermeditasi untuk meningkatkan fungsi otak.
Peneliti UI Devie Rahmawati mengatakan ide street racing Polda Metro Jaya, menjadi salah satu kado terbaik di Hari Ibu, karena diharapkan mampu mencegah kembali menetesnya air mata para ibu.
Tim UNJ mengadakan pelatihan bagi guru-guru mengenai pengembangan kurikulum, penyusunan media pembelajaran digital, serta kegiatan pendampingan belajar bagi siswa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved