Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
GURU Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof Hariadi Kartodihardjo berpendapat, berdasarkan definisi hutan, hasil hutan dan kehutanan di dalam undang-undang, sebagai komoditi hasil hutan, tandan buah segar sawit akan masuk ke dalam lingkup definisi itu.
Ia beserta ruang hidupnya akan diperlakukan dalam bisnis proses kehutanan secara keseluruhan mulai dari inventarisasi, perencanaan, pengukuhan, pengelolaan, perizinan, pengawasan, maupun kewenangan pengaturan.
“Maka, bila sawit menjadi tanaman hutan, perizinan kebun sawit akan menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sejumlah lingkup kerja lembaga seperti Dinas Perkebunan di daerah ataupun Direktorat Jenderal Perkebunan, juga perlu disesuaikan," jelas Hariadi menanggapi pertanyaan media, Rabu (8/2) terkait penegasan KLHK bahwa sawit bukanlah tanaman hutan.
"Sebaliknya, sebagai komoditi, sawit akan menjadi kewenangan organ-organ dalam tubuh kementerian yang membidangi kehutanan,” ujar Hariadi.
Baca juga: KLHK: Sawit Bukan Tanaman Hutan dan Tak Bisa untuk Rehabilitasi Hutan
Lebih lanjut dikemukakan Hariadi, ide sawit sebagai tanaman hutan akan membuat tutupan hutan berada dalam kawasan hutan, tanah milik ataupun tanah negara termasuk yang berstatus izin usaha perkebunan (IUP) maupun HGU.
Hal itu berarti diperlukan strategi pengaturan baru, karena selain akan diatur dalam undang-undang kehutanan, sawit juga sudah diatur dalam Undang-undang Pertanahan dan Undang-undang Perkebunan.
Dalam undang-undang perkebunan, sawit telah ditetapkan sebagai usaha pengolahan hasil perkebunan (Pasal 41), komoditas perkebunan strategis tertentu (Pasal 52), serta jenis tanaman perkebunan ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Pasal 46).
“Kedua poin yang saya sebutkan itu menunjukkan bahwa alasan memasukkan sawit menjadi tanaman hutan bukan semata-mata perlu argumentasi teknis, tetapi juga perlu argumentasi dari perspektif perubahan institusional, apakah akan menjadi lebih efisien atau justru sebaliknya,” katanya.
Hariadi menjelaskan, kehutanan dan perkebunan atau persoalan kawasan hutan dan tanah negara—yang telah dibuktikan oleh banyaknya penggunaan secara illegal maupun konflik dalam penguasaannya—menunjukkan adanya masalah tatakelola (governance) yang buruk, termasuk pelanggaran tata ruang, korupsi perijinan, maupun lemahnya lembaga pemberi ijin melakukan kontrol.
Persoalan ini jauh lebih relevan dan penting untuk diselesaikan saat ini, karena lebih menentukan keberhasilan upaya mewujudkan keadilan alokasi pemanfaatan sumberdaya alam, kepastian usaha, maupun upaya peningkatan produktivitas hutan dan lahan.
“Dengan paparan di atas, ide sawit menjadi tanaman hutan perlu dikaji ulang relevansiny,”ujarnya.
Dikemukakan Hariadi, sebagaimana yang berjalan saat ini, kecuali ditetapkan dalam undang-undang—itupun hanya dalam kondisi tertentu, peraturan yang secara eksplisit akan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan, tidak dapat berlaku surut.
Dengan kata lain, akan berlaku hanya untuk tanaman sawit yang ditanam setelah peraturan itu dibuat.
Akibatnya, keberadaan tanaman sawit yang telah dibangun dalam kawasan hutan, statusnya tidak berubah. Maknanya, bila tidak memenuhi syarat-syarat perizinannya, harus diupayakan agar memenuhinya.
"Dengan demikian, persoalan kebun sawit di masa lalu tidak dapat diputihkan dengan cara menjadikannya saat ini sebagai tanaman hutan," jelasnya.
Dengan status yang tetap itu, lanjut Hariadi, solusi untuk tanaman sawit yang sudah berada dalam kawasan hutan sudah tersedia.
Status yang tetap itu antara lain adanya tambahan pasal 110A dan 110B dalam perubahan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan turunannya Peraturan Pemerintah No 24 tahun 2021 mengenai tatacara mengenai sanksi administratif dan tatacara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan.
Peraturan ini juga memuat kebijakan afirmatif—dengan membebaskan denda administrasi dan mengeluarkannya dari kawasan hutan—bagi penyelesaian persoalan perkebunan skala kecil dengan luas kurang dari 5 hektare.
Sejumlah Kebijakan
Masih terkait sawit apakah masuk tanaman hutan, Hariadi mengemukakan, berbagai persoalan pengelolaan hutan dan perkebunan kelapa sawit pernah dicoba diselesaikan melalui Instruksi Presiden No 18 Tahun 2018 yang berlaku selama tiga tahun.
Inpres itu mengenai penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitasnya.
Tujuannya untuk meningkatkan tatakelola, memberi kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca, serta untuk peningkatan pembinaan petani kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.
“Apabila kita membaca tugas keenam kementerian/lembaga serta gubernur dan bupati/walikota yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian itu, semua kegiatan yang ditetapkan menuju sinergi untuk menyelesaikan masalah," paparnya.
"Hasilnya, kawasan hutan dan tanah negara akan tertata kembali sesuai fungsinya, terdapat kepastian hukum, produktivitas ekonomi meningkat dalam kondisi lingkungan hidup tetap terjaga,” ujar Hariadi.
Hasil itu dicapai antara lain melalui strategi, pertama, penetapan kembali areal yang berasal dari kawasan hutan yang telah dilakukan pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan sebagai kawasan hutan.
Kedua, penetapan areal yang berasal dari kawasan hutan yang telah dilakukan pelepasan sebagai tanah negara.
Selanjutnya ketiga, penetapan tanah terlantar dan penghentian proses penerbitan atau pembatalan hak guna usaha (HGU).
Keempat, langkah-langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit berdasarkan verifikasi data dan evaluasi atas pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. (RO/OL-09)
KETUA Delegasi RI untuk COP29, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan Presiden RI Prabowo Subianto telah menyetujui reboisasi atau penghijauan kembali besar-besaran.
PT Eigerindo MPI, distributor brand EIGER Adventure, berkolaborasi dengan Yayasan Wanadri untuk menanam dan merawat 10.000 bibit mangrove di Belitung
SEKRETARIS Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mendorong pemerintah secara kolaboratif menciptakan kebijakan yang mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.
Target KEM adalah untuk membuka pendanaan 200 juta USD bagi 100 usaha lestari yang terkoneksi dengan 100 kabupaten yang berkomitmen menjadi lestari.
Prof.San Afri menjelaskan bahwa program KHDPK melaksanakan, pertama, penanaman ulang lahan kritis, rusak, gundul dan tidak produktif akibat pengelolaan sebelumnya.
Kebijakan KHDPK diambil untuk mengatasi permasalahan masyarakat di kawasan hutan Jawa. Di samping itu, agar Perhutani dapat lebih fokus pada bisnis usahanya.
Kelapa bukan hanya komoditas pertanian, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
“Artinya sayuran yang kita lakukan uji residu pestisida itu angkanya di bawah batas maksimal residu, sehingga sayuran yang dijual di pasar ibuh aman untuk dikonsumsi masyarakat,”
Penelitian terbaru menunjukkan tanaman dan pohon memiliki kemampuan untuk merespons perubahan lingkungan yang terjadi sebelum letusan gunung berapi.
Plants vs. Zombies Fusion (PVZ Fusion) adalah salah satu game yang menghadirkan pengalaman seru dan menantang dalam melawan gelombang zombie yang terus berdatangan.
Tanaman air tidak hanya penting dalam ekosistem untuk membantu menjaga kualitas air dan menyediakan habitat bagi berbagai organisme air, tetapi juga bisa memiliki nilai ekonomi
PERUBAHAN iklim dan potensi munculnya penyakit baru pada tanaman dapat menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan nasional.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved