Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
BADAN Penelitian Pengembangan dan Pendidikan Latihan (Balitbangdiklat) Kementerian Agama mengatakan perlunya pembinaan ke dalam (internal) secara intensif oleh para pimpinan di instansi atau lembaga negara sebagai upaya pencegahan dini paham radikal dan intoleran.
"Yang paling penting adalah pembinaan ke dalam oleh para pimpinan lembaga atau instansi pada unit masing-masing, karena merekalah yang paling tahu internalnya sendiri kepada masing-masing bawahannya," ujar Sekretaris Balitbangdiklat Kementerian Agama Muharram Marzuki dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (12/10).
Ia menjelaskan pembinaan tersebut bertujuan untuk menginfiltrasi terhadap nilai-nilai kebangsaan kepada para pegawai atau aparatur negara tentang bagaimana prinsip dan komitmen kepada Pancasila, Kebhinnekaan, serta bagaimana warga negara dapat hidup saling menghormati dan menghargai.
"Kita perlu mempelajari kembali secara mendalam hal-hal seperti apakah yang dianggap sebagai intoleransi, agar kita juga tidak terlalu mudah menjustifikasi," ucapnya.
Marzuki menyinggung mengenai sistem rekrutmen atau penjaringan calon aparatur negara yang menurutnya tidak boleh hanya sekadar ujian tertulis saja, tetapi sistem penjaringan calon aparatur negara ini perlu diperkuat dengan tes wawancara ideologi kebangsaan.
Untuk itu, menurut Marzuki perekrut atau pewawancara calon aparatur harus memiliki pengetahuan luas agar kemudian tidak memberikan penilaian yang salah.
"Kalau yang mewawancarai saja tidak paham mengenai pemahaman atau ideologi, dan sebagainya nanti bisa salah menilai, khawatirnya malah makin merapuhkan ketahanan di internal lembaga atau instansi sehingga harus dicek betul bagaimana kecintaan mereka terhadap bangsa dan negara," ujarnya.
Ia menyarankan proses rekrutmen calon aparatur negara harus dilakukan seketat mungkin. Selain itu juga harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan wawasan kebangsaan yang baik. Serta perlunya penguatan sinergi antar lembaga/instansi.
"Sinergi antar lembaga dan kementerian harus terus diperkuat. Tidak cukup hanya sekadar formalitas saja, tapi harus diikuti secara mendalam terutama pada sisi yang ber-irisan dalam memperkuat nilai kebangsaan pada aparatur sipil negara. Sinergi dengan unsur masyarakat, lembaga dan instansi ini bisa bekerja sama sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing," tuturnya.
Ia juga mengungkapkan pencegahan radikalisme dan intoleransi di lingkungan Kemenag sudah sangat baik, terutama dalam hal penguatan lembaga-lembaga pendidikan. Juga yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di pesantren-pesantren.
"Di Kemenag ada Direktorat Pembinaan Urusan Ormas Keagamaan, ada urusan Pendidikan Keagamaan, bagaimana lembaga lain bisa men-support dan mendukung agar jangan sampai timbul tindakan radikalisme. Contoh lainnya dilakukan BNPT terhadap pesantren-pesantren maupun lembaga pendidikan lainnya," ungkapnya.
Marzuki menjelaskan salah satu program Kemenag berupa moderasi beragama.Upaya ini dinilai menjadi salah satu upaya yang baik dan menyentuh kepada seluruh lapisan masyarakat baik pejabat negara, ormas, lembaga pendidikan maupun masyarakat biasa.
"Moderasi beragama yang menyentuh kepada seluruh lapisan masyarakat ini harus dilakukan secara massif termasuk kepada aparatur negara, jadi sekali lagi pembinaan internal sangat penting," jelasnya. (Ant/OL-09)
PRESIDEN Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini menuai kecaman dari umat muslim di dunia karena mengaitkan Islam dengan terorisme.
SELASA, 17 November lalu, dua anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur tewas di tangan Satuan Tugas Tinombala.
DI tengah aksi teror, warga selalu jadi korban. Di Sulawesi Tengah, yang terbaru ialah pembunuhan empat warga dan pembakaran enam rumah di lokasi transmigrasi Levono,
Wilayah Poso identik dengan serangkaian konflik yang berujung pada kericuhan.
TERORIS merupakan ancaman serius yang setiap saat dapat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara serta kepentingan nasional.
NAMANYA Muhammad Basri. Sehari-hari, ia dipanggil Bagong. Pria asal Poso, Sulawesi Tengah, itu juga dikenal sebagai tangan kanan Santoso
FPHW secara tegas menolak berkembangnya organisasi masyarakat yang teridentifikasi dan menganut paham intoleransi, radikalisme dan terorisme.
Pancasila dan khilafah tidak bisa hidup berdampingan di Indonesia. Salah satunya harus dikorbankan.
SOSOK Prof Yudian Wahyudi menjadi salah satu lulusan pesantren yang berhasil di dunia akademik. Dari Pesantren Termas di Pacitan, Jawa Timur.
KARENA Indonesia negara multikultural, munculnya potensi radikalisme menjelang pilkada serentak 9 Desember 2020 masih sangat tinggi.
Paham radikalisme tumbuh subur di masyarakat karena tidak sedikit orang yang baru belajar agama tidak mampu menafsirkan ilmu itu dengan baik.
Kelompok teroris tersebut bahkan telah melakukan penggambaran untuk serangan tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved