Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

17 Tahun Terakhir, Ada 544.452 Kasus KDRT

Atalya Puspa
28/9/2021 10:52
17 Tahun Terakhir, Ada 544.452 Kasus KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga(Ilustrasi)

SELAMA 17 tahun terakhir, terdapat 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga, berdasarkan data yang dihimpun Komnas Perempuan. Adapun, kasus tersebut meliputi kasus kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan khususnya inses, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, kekerasan mantan pacar, kekerasan suami, dan kekerasan relasi personal lainnya.

Adapun, selama 5 tahun terakhir (2016-2020) terdapat 36.367 Kasus KDRT dan 10.669 Kasus Ranah Personal. Dari jenis-jenis KDRT, kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT/RP dan selalu berada di atas angka 70%. Sedangkan yang paling minim dilaporkan adalah kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT).

"Komnas Perempuan mencatat dampak KDRT telah menimbulkan ketakutan, penderitaan berat, hingga gangguan psikososial pada korban, menjadi disabilitas, keinginan bunuh diri, trauma berkepanjangan dan hilangnya rasa percaya diri. Atas dampak tersebut korban yang membutuhkan pemulihan komprehensif, yang sebetulnya telah diatur dalam UU PKDRT," kata Komisioner Komnas Perempuan Andy Yetriyani dalam keterangan resmi, Selasa (28/9).

Dalam refleksi 17 Tahun Pengesahan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Andy menyatakan Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang terkait dengan penanganan kasus KDRT.

Pertama, mengenai kriminalisasi Korban. Untuk konteks KDRT, perempuan korban rentan dilaporkan balik, terlebih ketika pelaku memiliki kuasa lebih secara ekonomi, sosial, politik dan memiliki jaringan kekuasaan. Sebanyak 36% dari 120 lembaga layanan yang mengisi kuesioner Catahu menjawab terjadi kriminalisasi terhadap korban KDRT.

Baca juga: Jonathan Frizzy Lengkapi Bukti dugaan KDRT yang Dilakukan Istrinya

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU PKDRT sendiri, UU Perlindungan Anak, UU ITE, UU Pornografi dan KUHP. Kriminalisasi ini dilakukan akibat upaya perempuan untuk memutus siklus KDRT seperti keluar dari kediaman bersama, melaporkan KDRT yang dialaminya, menggugat cerai, memperjuangkan hak sebagai istri/mantan istri, memperjuangkan hak anak-anaknya, serta berbuat bagi kepentingan terbaik untuk anak.

"Penggunaan UU PKDRT untuk mengkriminalkan korban KDRT merupakan indikasi bahwa kebijakan afirmasi untuk perempuan dan keberadaan relasi kuasa dan kontrol yang timpang antara laki-laki dan perempuan belum sepenuhnya dipahami, terutama oleh aparat penegak hukum," ucap dia.

Kedua, adanya kemungkinan KDRT Berlanjut (Post Separation Abuse). Andy menyatakan, KDRT berlanjut menunjukkan kerentanan perempuan dalam relasi perkawinan yang telah diakhiri dengan perceraian. KDRT yang dialami dapat terus berlangsung yang dilakukan oleh mantan suami maupun keluarga mantan suami meski perkawinan telah putus melalui perceraian.

"CATAHU Komnas Perempuan menambahkan Kekerasan Mantan Suami (KMS) untuk memantau pola KDRT berlanjut. KDRT berlanjut pada titik ekstrim dapat berakibat terjadinya kematian (femisida). Selain dengan kekerasan, KDRT berlanjut juga menggunakan anak, harta dan rekaman video intim sebagai alat untuk mengontrol dan mengintimidasi korban," ungkap dia.

Permasalahan-permasalahan di atas, lanjut Andy, membuktikan masih dibutuhkan berbagai upaya untuk mencegah, menangani dan memulihkan korban KDRT. Untuk memutus rantai kekerasan dan memulihkan korban, dalam rangka memperingati 17 tahun disahkannya UU PKDRT, Komnas Perempuan memberikan saran dan rekomendasi agar pemerintah menerapkan Perma 3 Tahun 2017 dalam memeriksa kasus-kasus perceraian dengan alasan- alasan KDRT.

Selain itu, membangun mekanisme untuk melibatkan pekerja sosial dalam menilai kelayakan pengasuhan anak sebagai dasar pengambilan keputusan.

Selanjutnya, Komnas Perempuan juga meminta agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI untuk membangun skema nasional aksi penghapusan KDRT di Indonesia.

Serta menguatkan koordinasi dengan aparat penegak hukum, Komnas Perempuan, serta instansi terkait untuk penguatan kapasitas penegak hukum yang meliputi pemahaman tentang KDRT sebagai kekerasan yang berbasis gender dan perlindungan hak perempuan korban kekerasan. Selanjutnya embentukan peraturan pelaksana yang bersifat implementatif sebagai parameter dalam penanganan kekerasan, termasuk sistem pembuktian dan pelaksanaan pidana tambahan.

Penguatan kapasitas lembaga pengada layanan secara terpadu dalam penyelenggaraan pelayanan terhadap perempuan korban kekerasan juga diperlukan.

Selain itu, pemberdayaan perempuan korban, keluarga, dan komunitas secara berkelanjutan dengan menyediakan berbagai informasi hingga ke tingkat desa dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

"Mempercepat proses penguatan hukum bagi Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP)," ucap Andy.

Selain itu, ia juga meminta agar Kepolisian Republik Indonesia untuk mengutamakan penegakan hukum dan membangun standar norma untuk kasus yang dapat diselesaikan secara restorative justice dalam penyelesaian kasus KDRT.

Di samping itu, meningkakan proses penanganan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga layanan korban KDRT, sebagai bagian dari penguatan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP).

"Penguatan kapasitas penyelidik dan penyidik tentang KDRT sebagai kekerasan berbasis gender," tutur dia.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya