Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Fakta Stunting, 22,6% Bayi Punya Bakat

Mediaindonesia.com
29/6/2021 08:24
Fakta Stunting, 22,6% Bayi Punya Bakat
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengunjungi Posyandu.(Ist/BKKBN)

RISIKO stunting masih menjadi masalah serius di Indonesia. Faktanya, 22,6% anak di Indonesia memiliki ‘bakat’ stunting. 

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyampaikan, jumlah kasus stunting di Indonesia pada 2019 mencapai 27,67%. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8% pada 2013.

“Namun, angka ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu kurang dari 20%,” kata Hasto dalam konferensi pers bertajuk Smart Sharing: Program Kerja Sama Penurunan Angka Stunting di Indonesia” di Jakarta, belum lama ini.

Ia mengatakan, hingga akhir 2020, status Indonesia masih berada di urutan empat dunia dan urutan kedua di Asia Tenggara terkait kasus balita stunting. Ia menyatakan Presiden Joko Widodo pada Januari 2021 lalu menargetkan pada 2024 kasus stunting di Indonesia bisa ditekan hingga berada di angka 14% dan angka kematian ibu bisa ditekan hingga di bawah 183 kasus per 100.000 ibu melahirkan.

“Kita ini punya ‘bakat’ stunting itu sejak awal. Ternyata bayi yang lahir, data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 menunjukkan ada sekitar 22,6% bayi yang lahir panjang badannya di bawah standar. Itu kan sudah ‘bakat’ untuk stunting,” jelas Hasto.

Panjang dan berat badan bayi baru lahir kerap dijadikan tolak ukur kesehatan bayi. Ukuran panjang bayi normal berkisar antara 48-52 cm dan berat 2,5-3,5 kg. Kurang dari itu, maka anak berpotensi mengalami gagal tumbuh.

“Panjang badan ideal bayi ketika lahir adalah 48cm hingga 52 cm. Bayi yang lahir kurang dari 48cm bisa berpotensi stunting,” bebernya.

Hasto menyoroti makin terjadi peningkatan anak dengan tinggi di bawah standar menuju 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Gangguan pertumbuhan linier atau tinggi badan tidak mencapai standar merupakan salah satu masalah gizi yang bisa menjadi indikasi stunting.

“Setelah disusui selama 6 bulan dan diperiksa lagi, ternyata ukuran badan yang tidak sesuai dengan umurnya meningkat menjadi 23%. setelah diberi makanan pendamping ASI sampai 23 bulan mendekati HPK, ternyata tinggi badan yang tidak sesuai umur bertambah menjadi 30,7%,” jelasnya.

Anak usia 0-6 bulan yang lahir pendek atau memiliki panjang badan kurang dari 48 cm dan berat badan kurang dari 2,5 kg masih bisa dicegah agar tidak mengalami stunting. Caranya adalah dengan memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan.

Setelah itu dilanjutkan dengan pemberian ASI sampai usia 2 tahun ditambah dengan asupan makanan pendamping ASI yang baik. Pemberian imunisasi pada anak juga penting agar anak terhindar dari penyakit.

“Pencegahan stunting itu masih bisa dilakukan asal anak usianya masih di bawah 2 tahun. Kalau lewat dari itu, maka akan susah sekali,” lanjut dia. 

Menyambut Hari Keluarga Nasional ke-28, Hasto mengajak keluarga Indonesia untuk menyelamatkan anak-anak dari ancaman stunting. Semua keluarga Indonesia dapat berisiko stunting. Dalam hal ini, anak akan mengalami gangguan pertumbuhan secara fisik maupun perkembangan intelektual. Kondisi ini dapat disebabkan karena kekurang­an gizi selama periode awal tumbuh kembang anak.

“Saat ini satu dari empat anak yang lahir di Indonesia mengalami stunting, di dunia, Indonesia berada pada posisi ke-5 sebagai negara yang memiliki kasus stunting terbanyak. Kondisi ini dapat berdampak pada generasi penerus bangsa di masa depan anak, dengan kondisi stunting anak-anak akan sulit untuk bermain dan belajar, serta mempengaruhi kualitas kesehatan mereka di masa depan,” ujarnya.

BKKBN saat ini telah membuat 10 pokok perubahan program kerja untuk mengawal ibu hamil dan mendampingi keluarga Indonesia. Program ini dilakukan dengan cara pendataan dan penapisan, pendampingan, serta pemantauan dan audit kasus. 

Adapun 10 pokok perubahan itu meliputi pertama pendataan keluarga berisiko tinggi (risti) stunting melalui Pendataan Keluarga dan di-update dengan Sistem Informasi Keluarga (Siga). Kedua, pendampingan keluarga risti stunting oleh kader KB, PPKBD, dan Sub-PPKBD. 

Ketiga, penapisan keluarga terhadap penggunaan dan kepemilikan sarana jamban dan air bersih. Keempat, penapisan keluarga terhadap penggunaan dan kepemilikan sarana rumah sehat. Kelima, pendampingan dan penapisan keluarga terhadap ketersediaan pangan, pola makan dan asupan gizi. 

Keenam, pendampingan dan penapisan kesehatan reproduksi semua remaja/pemuda 3 bulan pranikah. Ketujuh, penapisan, pendampingan semua PUS/ keluarga dengan ibu hamil. Kedelapan, pendampingan, penapisan keluarga dengan PUS pasca persalinan untuk pemberian ASI eksklusif dan KB PP oleh kader sehat, PPKBD di bawah Bidan. Kedelapan, penapisan, pendampingan keluarga dengan 1.000 HPK.

Kesepuluh, melengkapi komponen pendukung audit kejadian stunting di tingkat kecamatan dengan pembangunan sistem IT/IOT/aplikasi baru pendukung rencana aksi oleh camat dibantu oleh PKB, PLKB, pimpinan puskesmas, pakar. (Gan/S2-25)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya