Headline
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
SEKITAR 87% anak-anak di Indonesia sudah dikenalkan media sosial sebelum menginjak usia 13 tahun. Bahkan, sebanyak 92% anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah mengenal media sosial lebih dini.
Hal tersebut terungkap dari hasil riset bertajuk "Neurosensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids" oleh perusahaan riset independen berbasis kecerdasan buatan (AI), Neurosensum.
Berdasarkan riset tersebut, rata-rata anak Indonesia mengenal media sosial di usia 7 tahun. Dari 92% anak yang datang dari keluarga berpenghasilan rendah, 54% di antaranya diperkenalkan ke media sosial sebelum mereka berusia 6 tahun.
Angka ini merupakan angka yang signifikan jika dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan tinggi di mana hanya 34% yang menggunakan media sosial sebelum mereka mencapai usia tersebut. Sebagai informasi, raksasa media sosial seperti YouTube, Instagram, dan Facebook, menerapkan batas minimum usia pengguna 13 tahun.
Untuk melihat kesadaran dan kepedulian orang tua terhadap penggunaan media sosial oleh anak-anak mereka di Indonesia, NeuroSensum meluncurkan survei pada Februari lalu, yakni untuk memahami kesadaran penggunaan media sosial anak-anak di antara orang tua dan kekhawatiran mereka terhadap penggunaan media online oleh anak-anak.
NeuroSensum melakukan survei kepada 269 responden (52% pria dan 48% wanita) di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya) dan menemukan beberapa informasi yang menarik.
“Penggunaan media sosial di rumah tangga berpenghasilan rendah dimulai saat anak berusia sekitar 7 tahun, lebih awal dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas, yaitu 9 tahun. Meski belum memenuhi batas bawah usia akun media social, para orangtua pada akhirnya memberikan akses media social agar anak sibuk dan orangtua dapat fokus mengerjakan pekerjaan mereka,” kata CEO NeuroSensum & SurveySensum Rajiv Lamba dalam keterangan resmi, Jumat (16/4).
Tidak hanya usia, hasil riset NeuroSensum juga mengungkapkan adanya perbedaan durasi saat mengonsumsi konten media sosial di antara anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dan tinggi.
Baca juga : Permainan Tantangan di TikTok Kembali Makan Korban
Rajiv memaparkan, meskipun dimulai pada usia yang sangat muda, anak-anak di rumah tangga berpenghasilan rendah menghabiskan lebih sedikit waktu di media sosial (2,4 jam sehari) dibandingkan teman seusia mereka di rumah tangga berpenghasilan tinggi yaitu 3,3 jam sehari.
YouTube (78%), WhatsApp (61%), Instagram (54%), Facebook (54%), dan Twitter (12%) adalah platform media sosial yang paling banyak digunakan oleh anak-anak. Dari platform tersebut, anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan tinggi dan rendah cenderung lebih memilih hiburan di internet sebagai alternatif mengisi waktu luang, dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan menengah, yang lebih fokus pada kegiatan komunikasi dan pembelajaran online.
Anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan online seperti bermain game dan komunikasi online (masing-masing 65%), belajar secara daring dan mempelajari keterampilan baru (masing-masing 48%), pembaharuan status di media sosial dan menonton film atau serial di platform online (masing-masing 42%), membuat video di Tik Tok atau platform video pendek lainnya (37%), serta membaca buku atau komik di internet (30%).
“Salah satu sisi positif dari anak-anak yang bermedia sosial adalah kemampuan mereka memproduksi suatu karya di usia dini. Terlebih lagi semasa pandemi, anak-anak tidak hanya mengonsumsi konten digital tetapi juga semakin mahir memanfaatkan media sosial untuk membuat konten. Meskipun aktivitas memproduksi konten ini lebih banyak dilakukan oleh anak dari kalangan atas, hal tersebut memunculkan kekhawatiran lain di kalangan orang tua,” kata Rajiv.
Survei NeuroSensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids juga melakukan riset pada perasaan orangtua mengenai keeratan anak dengan media sosial. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa konten yang bersifat kekerasan dan seksual menjadi kekhawatiran terbesar para orangtua yang telah mengenalkan media sosial ke anak-anaknya. Hal ini menjadi perhatian besar bagi 81% orangtua.
Adapun perundungan atau bullying di dunia maya turut menjadi kekhawatiran 56% orang tua di Indonesia.
"Hal ini menunjukkan bahwa dampak negatif media sosial secara psikologis lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan efek terhadap kesehatan fisik. Hal tersebut didukung dengan 98% orangtua yang lebih khawatir terhadap tontonan negatif yang berdampak terhadap anak-anak mereka," pungkasnya. (OL-7)
Paparan polusi udara berisiko menyebabkan asma, ISPA, penyakit kardiovaskular, penyakit paru sampai dengan resisten insulin pada kelompok usia muda seperti anak-anak dan remaja.
Asmirandah mengatakan bahwa informasi kesehatan yang berseliweran di media sosial tidak selalu benar, jadi lebih baik bertanya langsung kepada tenaga kesehatan profesional.
Virus yang menempel di saluran pernafasan juga dapat cepat terbuang saat cuci hidung dan diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan pasien.
Orangtua sebaiknya lebih dulu menanyakan dan mengamati gejala sakit yang dialami oleh anak sebelum membeli obat.
Australia larang anak di bawah 16 tahun akses YouTube, TikTok, dan media sosial lainnya mulai Desember 2025.
JCI Jakarta berkolaborasi dengan HIPMI BPP Banom Womenpreneur untuk mendukung misi penting Kids Biennale Indonesia: memerangi bullying dan kekerasan seksual terhadap anak-anak.
LEMBAGA Survei Charta Politika Indonesia merilis survei terbaru evaluasi publik atas kinerja Gubernur- Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) 2025
Sebanyak 53% pekerja penuh waktu mengatakan bahwa mereka menabung lebih sedikit dari rencana, hanya 23% yang mampu menabung lebih banyak dari yang ditargetkan.
Survei YouGov di Indonesia tentang resolusi tahun baru 2025 mengungkapkan 74% responden ingin mengelola keuangan dengan lebih baik.
Lembaga riset Ethical Politics mencatat tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencapai 77,73%.
Pramono mengatakan enggan untuk membuat konten khusus terkait pekerjaannya. Sebab, ia tidak terlalu suka untuk tampil di media sosial.
40 persen responden mengaku sangat mengkhawatirkan kemungkinan AS akan terlibat dalam perang besar dengan Iran.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved