Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Guru Besar UI : Stunting Bukan Sekadar soal Tinggi Badan

Faustinus Nua
14/3/2021 22:32
Guru Besar UI : Stunting Bukan Sekadar soal Tinggi Badan
Pemberian imunisasi pada anak untuk mencegah stunting(MI/Haryanto Mega)

STUNTING bukan hanya permasalahan medis, tapi juga terkait permasalahan multifaktor, seperti malnutrisi, masalah sosial, ekonomi, politik dan emosional juga menjadi penyebab kesehatan pada pertumbuhan anak.

"Untuk mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia secara menyeluruh kita harus melihat faktor sosial, ekonomi, politik dan emosional juga," kata Aman Bhakti Pulungan dalam pidato setelah dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sabtu (13/3).

Dijelaskannya, berdasarkan laporan Unicef yang dipublikasi pada  2013, Indonesia menempati urutan ke-5 terkait stunting. Indonesia berada dibelakang India, Nigeria, Pakistan dan Tiongkok.

Data Riskedas 2018 juga menunjukan bahwa prevalensi stunting pada balita Indonesia mencapai 30%. Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan di bawah 2 simpang baku kurva standar WHO yang disebabkan oleh malnutrisi atau permasalah kesehatab lain.

Namun data Riskesdas itu tidak mendata stunting secara spesifik, melainkan hanya menghitung tinggi badan anak Indonesia yang terpisah dari data malnutrsi. Sehingga semua anak yang terukur pendek menurut standar WHO dianggap sebagai stunting. 

"Angka ini tidak membedakan anak pendek akibat stunting, pendek normal, pendek gemuk atau pendek karena sebab lain," imbuhnya.

Menurutnya, permasalahan stunting harus dilihat secara komprehensif supaya intervensi yang diberikan tidak salah sasaran. Saat ini sebagain besar upaya masih ditujukan pada masalah nutrisi. Jika anak dengan perawakan pendek normal dianggap stunting dan diberikan tambahan nutrisi maka intervensi tersebut sudah salah sasaran.

Berbagai penelitian menunjukan bahwa intervensi gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna. Hasil penelitian pihaknya di NTB menunjukan bahwa intervensi nutrisi saja tidak cukup menyebabkan kenaikan berat dan tinggi badan yang siginifikan setelah follow up selama 10 bulan.

Banyak ahli pun berpendapat bahwa sebagian besar anak yang stunting sebenarnya bukan masalah gizi. Studi kolaborasi yang dilakukan di NTT, Sumatera Utara dan Bali tidak menemukan hubungan antara keberlipatan lemak kulit dan tinggi badan.

"Anak yang tergolong stunting tersebut terlihat bahagia dan sehat tanpa adanya tanda klinis bahwa terjadi malnutrisi," tambahnya.

Beberapa ahli, lanjutnya mengungkapkan bahwa permasalahan stunting bukan masalah nutrisi, tapi juga permasalahan sosial ekonomi, politk dan emosional. Adannya kesenjangan sosial dan kurangnya mobilitas sosial diduga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan suatu populasi. 

"Contohnya adalah Korea Utara dan Selatan, kedua neagara tersebut berasal dari suku bangsa yang sama tetapi terdapat perbedaan tinggi badan yang cukup signifikan antara Korea Utara dan Selatan. Anak, balita di Korsel lebih tinggi 6-7 cm dibandingkan Korut. Perbedaan tinggi badan ini juga terlihat pada populasi orang dewasa. Keadaan serupa pada Jerman Timur dan Barat sebelum runtuhnya tembok Berlin," terang Aman.

Baca juga : Jangan Sebar Hoaks, Masyarakat Diminta Dukung Vaksinasi Covid-19

Selain itu, data dari Jepang menunjukan bahwa kondisi saat masa remaja lebih mempengaruhi tinggi dewasa daripada tinggi pada masa bayi dan kanak-kanak. Orang Jepang yang lahir di akhir masa perang memiliki tinggi dewaa lebih baik dari pada mereka yang mengalami perang pada masa remaja. Hal ini diperkirakan karena mereka mengalami perang saat bayi dan mengami kelainan kondisi kehidupan pada remaja setelah perang.

"Begitu pula tinggi badan rakyat Indonesia pada masa setelah kemerdekaan terdapat kenaikan rerata tinggi badan cukup bermakna. Hal ini menunjukan bahwa perubahan iklim politik dan sosial-ekonomi memliki dampak yang tinggi pada postur populasi," kata dia.

Lebih lanjut, dia menerangkan bahwa penelitian yang dilakukan di kupang, Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa pendek dan kurus tidak berhubungan dengan indikator gizi buruk. Tetapi lebih berhubungan dengan pendidikan orang tua. Hal yang sama juga dilaporkan di Kolkata, India. Faktor genetik juga mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan linear. 

Keragaman etnis manusia juga dapat menyebabkan keragaman tinggi badan. Penelitian pihaknya menunjukan bahwa anak Papua lebih pendek dari pada rerata nasional. Pendek pada anak Papua termasuk keperawakan pendek yang normal sehingga pihaknya menyusun standar pertumbuhan yang khusus bagi anak Papua.

Begitu pula penelitian terkait status gizi anak di Jakarta dan di Nabire Papua. Anak di Nabire lebih pendek dari anak di Jakarta, namun anak Nabire tetap sehat dan tidak terdapat tanda malnutrisi sehingga tidak bisa digolongkan banyak anak di Nabire sebagai stunting jika menggunakan kurva WHO dan CDC.

"Tapi kalau dibuat menggunakan kurva nasional yang disusun berdasarkan data Riskesdas ternyata angka stunting jauh berkurang. Hal ini menunjukan bahwa pemilihan kurva referensi yang digunakan untuk memantau pertumbuhan anak juga penting," terangnya.

Kurva standar internasional, kata Aman seperti standar WHO dan CDC didasari pada data pertumbuhan anak dalam kondisi ideal. Beberapa negara seperti Tiongkok, Singapura, Jepang, Arab Saudi dan negara-negara Eropa menggunakan kurva referensi nasional mereka sendiri.

Untuk mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia secara menyeluruh maka harus memperhatikan faktor sosial, ekonomi politik dan emosional . Mengingat pencegahan dan deteksi dini sangat penting dalam masalah menajemen gangguan pertumbuhan seperti stunting. 

Sistem yang sudah berjalan di Indonesia memiliki potensi untuk ditingkatkan sebagai lini depan untuk pencegahan deteksi dini gangguan pertumbuhan yaitu pemantauan dengan buku KAI dan pemanfaatan Posyandu. 

"Setiap masalah pertumbuhan harus terdeteksi dan dikelola dengan benar. Di Indonesia banyak kelurahan yang sulit mengakses kesehatan. Di masa modern ini sebagian penduduk telah memiliki smartphone dan hal ini dimaksudkan bisa dimanfaatkan untuk kesehatan anak," jelasnya.

Penanganan stunting harus dilakukan secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan faktor-faktor lain. Tidak hanya medis, peningkatan kesejahteraan seperti ekonomi, kondisi sosial, politik dan emosional juga harus diperhatikan sebagai indikator penanganan stunting nasional.(OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya