Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Ombudsman RI Komitmen Cegah Maladministrasi Sektor Kehutanan

Widhoroso
12/3/2021 19:07
Ombudsman RI Komitmen Cegah Maladministrasi Sektor Kehutanan
Siskusi virtual dengan tema 'Ombudsman RI Merespon Regulasi Sektor Kehutanan PascaBerlakunya UU Ciptaker', Jumat (12/3).(DOK Ombudsman)

OMBUDSMAN RI telah menerima laporan pengaduan masyarakat terkait bidang kehutanan. Laporan yang masuk misalnya terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) badan usaha, tumpang tindih kawasan hutan dengan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit dan peternakan, konflik tenurial antara masyarakat dengan pemegang IUPHHK-HTI, serta berbagai macam permasalahan lainnya.

Hal itu terungkap dalam diskusi virtual dengan tema 'Ombudsman RI Merespon Regulasi Sektor Kehutanan PascaBerlakunya UU Ciptaker', Jumat (12/3). Hadir dalam kegiatan tersebut antara lain Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. DR San Afri Awan serta anggota Ombudsman RI, Hery Susanto.  

Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari berlakukanya UU Cipta Kerja terutama di sektor kehutanan. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja banyak mengubah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Hery Susanto mengatakan Ombudsman RI berperan dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik khususnya di sektor kehutanan. Ia mengatakian Ombudsman RI secara aktif melakukan kegiatan pencegahan maladministrasi dan praktek korupsi dalam pelayanan publik.

"Kami konsern melakukan kajian terhadap regulasi yang rawan praktek maladministrasi dan korupsi. Kami pun siap menerima dan menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat," kata Hery Susanto.

Sedangkan San Afri Awang mengatakan keberadaan UU Citpa Kerja di sektor kehutanan untuk memperkuat keberadaan UU Kehutanan yang sebelumnya sudah ada. Namun, dirinya memperingatkan ada hal-hal yang  rawan terjadinya maladministrasi.

Misalnya dalam Pasal 16 ayat (3) PP Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai turunan dari UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pengukuhan Kawasan Hutan. Disebutkan  dalam proses penyelenggaran pengukuhan kawasan hutan harus dilaksanakan secara transparan dan dukungan informasi yang jelas.  

"Disebutkan prioritaskan percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan pada daerah strategis. Dalam konteks ini sering terjadi ketidakpastian hukum hutan adat, lalai, sewenang-wenang, dan ketidak pastian hukum pengadaan lahan untuk food estate (tumpang tindih perizinan),” katanya.
 
San Safri Awang berharap Ombudsman RI memfokuskan kajian pada mekanisme pembayaran denda. Menurut San Safri Awang, jika dendanya besar, misalnya di atas Rp100 miliar, dan perusahaan tidak mampu membayar langsung, perusahaan harus bersedia membayar dengan mencicil selama 20 tahun-25 tahun.

"Tetapi dalam PP No 59 Tahun 1998 Tentang Tarif Jasa Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) diatur pengajuan keringan pembayaran hanya 12 bulan saja. Di kasus yang lain, denda PNBP terhadap kebun sawit dalam kawasan hutan, belum ada aturannya. Maka seharusnya dapat diatur dalam peraturan menteri dari turunan PP 23 dan PP 24," pungkasnya. (RO/OL-15)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Widhoroso
Berita Lainnya