Kondisi Ekologis dan Curah Hujan Tinggi, Penyebab Banjir Kalsel

Atalya Puspa
19/1/2021 18:57
Kondisi Ekologis dan Curah Hujan Tinggi, Penyebab Banjir Kalsel
Warga menggendong anaknya saat melintasi banjir di Desa Kampung Melayu, Kalimantan Selatan.(Antara/Bayu Pratama)

KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut lokasi banjir di sepanjang alur DAS Barito disebabkan kondisi ekologis (jasa lingkungan pengatur air) yang sudah tidak memadai. Sehingga, tidak mampu lagi menampung aliran air yang masuk.

Daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung. Morfologinya merupakan meander dan fisiografinya berbentuk lereng. Alhasil, terjadi akumulasi dengan volume besar.

"Sistem drainase tidak mampu mengalirkan air dengan volume yang besar," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Karliansyah dalam konferensi pers virtual, Selasa (19/1).

Baca juga: Jokowi Pastikan Kebutuhan Korban Banjir Kalsel Terpenuhi

Lebih lanjut, dia menjelaskan lokasi banjir ialah daerah datar dan elevasi rendah, serta bermuara di laut. Sehingga, merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah. Selain itu, ada perbedaan tinggi hulu dan hilir yang sangat besar. Suplai air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat.

Di samping aspek kondisi ekologis, tingginya intensitas curah hujan pada DAS Barito menjadi penyebab banjir. Karliansyah menyebut normal curah hujan pada Januari 2020 sebesar 394 mm. Sementara itu, curah hujan pada 9-13 Januari 2021 mencapai 461 mm.

"Terdapat kenaikan 8-9 kali lipat curah hujan. Sehingga, volume air hujan masuk ke sungai sebanyak 2,08 miliar m3. Padahal, kapasitas sungai pada kondisi normal hanya 238 juta m3," papar Karliansyah.

Baca juga: Pembangunan Waduk Jadi Solusi Mitigasi Bencana

Saat kejadian banjir, di Kabupaten Tanah laut debit sungainya mencapai 645,6 m3 per detik. Padahal, kapasitasnya hanya 410,73 m3 per detik. Selain itu, Kabupaten Banjar debit hujannya sebesar 211,59 m3 per detik. Adapun kapasitasnya hanya 47,99 m3 perdetik.

Lalu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah tercatat debit sungai mencapai 333,79 m3 per detik. Padahal, kapasitasnya hanya 93,42 m3 perdetik. KLHK akan melakukan sejumlah upaya, seperti pembuatan bangunan konservasi tanah dan air berupa sumur resapan dan gully plug.

Tidak kalah penting, perlunya pembuatan bangunan pengendali banjir dan terobosan terkait konservasi tanah dan air. Dalam hal ini, dia menyoroti lanskap yang tidak mendukung.

Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Belinda Arunarwati Margono menjelaskan DAS Barito memiliki luas kurang lebih 6,2 juta hektare (ha), yang merupakan DAS lintas provinsi.

Baca juga: BNPB Bantu Rp3,5 Miliar Untuk Dana Siap Pakai Banjir Kalsel

Itu mencakup Kalimantan Tengah seluas 4,4 ha, Kalimantan Selatan seluas 1,8 juta ha, Kalimantan Timur seluas 8 ribu ha dan Kalimantan Barat seluas 590 ha. Adapun hulu DAS Barito 80,8% bertutupan hutan. 

Secara rinci, 79,3% bertutupan hutan alam dan sisanya 1,4% adalah hutan tanaman. Selanjutnya, 19,3% berpenutupan bukan hutan alam dengan mayoritas semak belukar dan pertanian campur.

"Untuk mendapatkan gambaran secara holistik tentang penyebab banjir, perlu dilakukan kajian untuk keseluruhan DAS. Terutama, DAS Barito yang merupakan DAS utama, dengan perhatian khusus pada wilayah hulu DAS," pungkas Belinda.(OL-11)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya