Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Konflik Menyisakan Perempuan Sebagai Korban

Sri Utami
29/12/2020 10:05
Konflik Menyisakan Perempuan Sebagai Korban
TEATRIKAL: Pemeran tampil pada aksi teatrikal kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Lhokseumawe, Aceh(ANTARA/ Rahmad)

TREN kasus kekerasan terhadap perempuan jumlahnya masih terus bertambah dan diperparah dengan ketidakpedulian publik yang kemudian dapat dikatakan menjadi impunitas sempurna dari tahun ke tahun.

Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Asia Justice and Right (AJAR) Galuh Wandita dalam diskusi daring Refleksi Akhir Tahun Perempuan, Konflik dan Pelanggaran HAM di Indonesia. "Menurut saya ketika korban dibungkam dan publik tidak peduli maka itu merupakan impunitas sempurna," ungkapnya. Kekerasan yang terjadi dalam konteks konflik yang dibiarkan akan menghasilkan kekerasan baru.

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kekerasan yang harus dialami oleh perempuan di Aceh akibat konflik. "Seperti kekerasan konflik di Aceh yang mengakibatkan ibu Saudah sering dipukuli suaminya karena suaminya mengalami trauma dan kesehatan mental yang buruk. Banyak sekali akar masalah domestik dan negara yang menyatu," ucap Galuh memberikan contoh.

Di Timur Leste akibat konflik yang terjadi sejak 1975-1999 (masih bagian Indonesia) mengakibatnya banyak perempuan di sana yang harus melahirkan anak-anak korban perkosaan yang saat ini anak-anak tersebut masih mengalami diskiriminasi.

Galuh menegaskan impunitas terus berulang dimulai sejak kekerasan seksual saat penjajahan Jepang dan berulang lagi di Timor Leste.  Bahkan lokasi diberlakukannya kekerasan seksual pada dua rezim tersebut pun berdekatan, membentuk suatu pola rantai impunitas.

"Kami telah berupaya membuat tools untuk menekan kekerasan berbasis gender dalam masyakat di Timor-Leste, Indonesia, dan Myanmar. Program tersebut telah melibatkan 140 perempuan dan menghasilkan berbagai publikasi yang menyoroti aktor-aktor yang bertahan di tengah lingkar impunitas," terangnya.

Dia menambahkan impunitas yang terus dibiarkan berakibat demokrasi tidak dapat ditegakkan secara substantif. Sehingga demokrasi prosedural yang dilaksanakan menjadi kosong tanpa adanya jaminan terhadap HAM.

Sementara itu Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto memaparkan bahwa di balik berbagai regulasi terkait perlindungan HAM bagi perempuan, tersembunyi realita yang menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan.

"Berdasarkan data Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tertinggi di Indonesia sepanjang 2019. Sedangkan Jawa Barat mengganti posisi tersebut pada Maret 2020," ujarnya.

Dia merinci bentuk kekerasan yang dialami perempuan beragam mulai dari kekerasan fisik yang menempati urutan pertama sebanyak 37%, kemudian 33% kekerasan seksual, 14% kekerasan psikis, 10% kekerasan ekonomi dan sisanya bicara tentang kekerasan terhadap buruh dan perdagangan manusia.

Di sisi lain praktisi UPN Veteran Jakarta Sri Lestari Wahyuningroem menuturkan banyaknya perempuan yang dilibatkan dan menjadi korban dari konflik HAM yang terjadi setelah 2015. Tidak kurang ada 659 konflik pada 2017 yang melibatkan lebih dari 650.000 keluarga. Dari angka tersebut 30% atau 199 konflik berhubungan dengan kepemilikan lahan, dan 14% atau 94 konflik berhubungan dengan pembangunan infrastruktur.

"Sebenarnya kebijakan terkait manajemen konflik pasca reformasi sudah lumayan banyak. Setidaknya ada sekitar 39 kebijakan yang sudah dikaji secara garis besar meliputi kebijakan terkait upaya menyikapi konflik-konflik pelanggaran HAM, konflik sosial dan terorisme dan lain-lain," tuturnya.

Berbagai kebijakan tersebut praktis menumbuhkan optimisme publik namun regulasi yang ada tidak dapat memenuhi dan menjamin hak-hak perempuan secara penuh. Bahkan beberapa kebijakan justru memperbesar kesenjangan sosial dan diskriminasi serta ada kontradiksi antar regulasi yang disahkan dan batasan terhadap negara untuk berfungsi dengan efektif dalam menangani konflik.(H-1).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya