Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Prioritas Vaksin Covid-19 untuk Empat Kelompok

Atikah Ishmah Winahyu
14/10/2020 03:15
Prioritas Vaksin Covid-19 untuk Empat Kelompok
Prof Amin Soebandrio Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman(MI/ANDRI WIDIYANTO)

LEMBAGA Biologi Molekuler Eijkman hingga kini sudah menyelesaikan sekitar 55% dari proses pengembangan vaksin covid-19 yang disebut vaksin Merah Putih. Berikut hasil wawancara Atikah Ishmah Winahyu dari Media Indonesia dengan Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio tentang perkembangan pembuatan vaksin tersebut.

 

Mengenai pendistribusian vaksin, sebagai seorang pakar, menurut Anda, siapa saja yang berhak diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin?

Dari berbagai diskusi, kita sebenarnya sepakat bahwa ada empat kelompok yang harus mendapat perhatian. Pertama, ketika jumlah vaksin terbatas, ialah frontliner atau orang yang ada di garda terdepan, bisa dari bidang kesehatan, bisa juga dari petugas keamanan dan ketertiban. Kedua, mereka yang kondisi kesehatannya mudah terinfeksi. Ketiga, orang-orang yang terlibat dalam menjamin bahwa social order itu tetap berjalan seperti orang pemerintahan. Keempat, mereka yang dianggap perlu untuk mencegah penularan, misalnya, ada satu orang terinfeksi dan sekelilingnya harus dilindungi, nah itu yang akan divaksinasi.

Di antara empat itu, setiap negara punya pertimbangan masing-masing. Namun, hampir semuanya sepakat bahwa kelompok pertama yang harus divaksinasi ialah petugas kesehatan karena yang paling mudah terpapar.

 

Bagaimana standar vaksin yang baik?

Intinya vaksin itu yang utama harus efektif dan kedua harus aman. Itu dibuktikan melalui uji klinis fase I, II, dan III. Otoritas di setiap negara akan melihat apa yang sudah dilakukan, pengujiannya di tiap-tiap institusi pengembangan vaksin. Setiap negara memang sudah punya aturan, walaupun kita di antara negara berpedoman pada WHO, misalnya, kita punya kesepakatan kualitasnya harus seperti ini, setiap negara apabila diperlukan bisa mengeluarkan apa yang disebut emergency use authorization atau pemberian izin penggunaan dalam keadaan darurat. Artinya, sebelum uji klinis selesai, kalau memang sudah dibutuhkan dan sudah ada uji fase I dan II, itu bisa diberikan untuk penggunaan terbatas.

Namun, uji klinis harus diselesaikan untuk memastikan kualitasnya efektif dan aman. Apa pun vaksinnya, apakah bikinan luar negeri atau dalam negeri, kita menggunakan parameter yang sama, yaitu efektif dan aman. Dalam menilai itu, otoritas seperti Badan POM dan Kemenkes juga harus memeriksa, tidak hanya produknya, tapi juga semua dokumentasi riwayat pengembangan vaksin itu sendiri.

 

Bagaimana meyakinkan masyarakat terkait dengan status halal, khususnya bagi vaksin dari luar negeri?

Ada dua hal. Kalau vaksin yang bisa dikendalikan sejak awal seperti yang dibuat sendiri di Indonesia, kami memastikan bahwa dari awal setiap proses di laboratoriumnya menghindari penggunaan bahan-bahan yang berpotensi dianggap tidak halal. Ini konsultasi juga dengan LPPOM MUI dan BPJPH dengan memastikan langkah-langkah itu dan semuanya harus dicatat. Nanti ketika diproduksi, kita memastikan kepada masyarakat bahwa produk ini tidak menggunakan bahan-bahan yang tidak memenuhi persyaratan halal. Itu kalau kita bisa kontrol dari awal. Untuk vaksin luar negeri, pedoman dari LPPOM ataupun BPJPH itu keadaan darurat pandemi seperti ini, yang dikeluarkan barangkali belum sertifikat halal karena untuk memastikan itu timnya harus melihat bagaimana produk itu diproses, harus lihat ke pabriknya, dan sebagainya. Ini tidak selalu dimungkinkan, kalau bisa ya bagus.

Namun, intinya, sebelum sertifikat halal diterbitkan, ada proses lain seperti fatwa. Begitu, ya, yang sementara mengizinkan karena ini keadaan darurat. Namun, kalau untuk produk Indonesia, kami berusaha dari hulu sampai hilir dan sampai produksi tidak menggunakan reagen atau material yang tidak memenuhi syarat kehalalan.

 

Boleh diceritakan bagaimana proses pengembangan vaksin Merah Putih?

Dapat kami bagi bahwa saat ini kalau dihitung persentase, LBM Eijkman sudah menyelesaikan sekitar 55% dari proses yang harus diselesaikan di laboratorium. Memang dijadwalkan (selesai) sekitar Februari atau Maret 2021. Saat ini, semua masih berjalan sesuai dengan jadwal.

Sampai September, kami sudah menyelesaikan sekitar 55% dan itu dalam proses menghasilkan protein rekombinan tadi. Gennya sudah dimasukkan ke sel-sel mamalia ataupun sel ragi yang akan dijadikan seperti 'pabrik'. Jadi, kita akan membuat sel-sel itu menjadi produsen protein rekombinan tadi.

Sekarang kita sedang menunggu produk-produk itu dari sel mamalia ataupun sel ragi. Nanti kalau sudah kita mendapatkan hasil yang stabil dan bagus, kualitasnya sesuai dengan yang kita inginkan, baru kita uji coba ke hewan dan setelah bagus kita akan serahkan ke Bio Farma. (X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya