Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Pendidikan Dokter tanpa Sosok Pasien Selama Pandemi Covid-19

Mediaindonesia.com
01/9/2020 17:20

HARUS diakui, terdapat perbedaan kualitas lulusan dokter yang para koasnya mendapat pembelajaran daring. Sebab, waktu belajar (praktik) mereka di lapangan tidak banyak.

Padahal calon dokter harus memiliki banyak pengalaman. Untuk itu, di era pandemi covid-19 ini mahasiswa kedokteran di Indonesia sebaiknya mencontoh rekan mereka di luar negeri yang memiliki kesadaran  membaca dan berlatih  pada phantom (manekin) secara mandiri.

Pendapat itu disampaikan dosen klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atmajaya Jakarta,dr Iskandar Rahardjo Budianto, Sp.BA dan dr Laurentius Aswin Pramono, Sp.PD saat diwawancarai secara virtual, pekan lalu.

"Untuk itu para dosen di fakultas kedokteran juga harus memperbanyak simulasi kasus dan membahasnya  secara serius dengan peserta koas," ujar Aswin, kepada Aloysius, mahasiswa semester 7 peserta blok Ilmu Pendidikan Kedokteran (IPK).

Siklus kepaniteraan klinik merupakan  komponen penting bagi para koas, karena banyak kesempatan untuk mengasah kemampuan melalui interaksi langsung dengan pasien. 

Namun, selama pandemi covid-19,  hampir semua institusi pendidikan, termasuk di fakultas kedokteran melakukan pembelajaran  jarak jauh (PJJ) atau daring.

Para peserta PSPD atau koas yang biasanya berhadapan langsung dengan pasien, terpaksa melakukan pembelajaran daring. Apalagi mereka berisiko tinggi tertular virus covid-19.

Secara materi, para koas mengaku, pembelajaran daring membuat  mereka  lebih jelas mendengar  penjelasan dosen dan melihat slide presentasi, tetapi memiliki kekurangan pengalaman klinis karena tidak bertemu pasien secara langsung.

"Sebaiknya setelah pandemi selesai, kami diberi pelatihan keterampilan lagi yang selama pembelajaran daring tidak dilakukan. Ini penting, agar mahasiswa berlatih dan terjun langsung ke lapangan," kata Hans Aditya prathama, salah satu peserta koas.

Liaison Committee on Medical  Education(LCME) memang  menyarankan untuk menurunkan  durasi siklus kepaniteraan klinik  dan  beralih ke pembelajaran  daring.
Iskandar mengakui pembelajaran daring bagi koas masih jauh dari sempurna.

"Cenderung satu arah dan dosen tidak dapat melihat kesiapan mahasiswa dalam proses pembelajaran," tambah spesialis bedah anak di RS St. Carolus Jakarta itu.

Hal senada disampaikan Aswin. Menurut spesialis penyakit dalam di rumah sakit yang sama dengan Iskandar itu, segi keterampilan  klinik  para koas menjadi kurang. 

"Selain tidak bertemu dengan pasien, pata koas juga tidak melihat bagaimana dokter bekerja secara langsung, walaupun mereka sudah diberi pengayaan kasus," jelasnya. 

Teknologi dan Inovasi

Sebagai respons berkurangnya pembelajaran klinik, berbagai universitas memang berhasil mengubah pembelajaran melalui aplikasi seperti Zoom, Microsoft Teams, Google Classroom, dan lain sebagainya.

Baik Iskandar maupun Aswin mengakui, pembelajaran daring membuat mahasiswa dari segi teori semakin baik. Namun hanya efektif pada mahasiswa yang terbiasa membaca terlebih dahulu sebelum dosen memberikan kuliah. 

"Tapi bagi para koas yang tidak bertemu langsung dengan pasien, itu menghambat proses pembelajaran  dan pengembangan profesional  kedokteran. Keefektifan pembelajaran  daring  bagi koas hanya 50-60%," ujar kedua dosen klinik tersebut. 

Selain itu, imbuhnya, kesempatan mahasiswa untuk memperoleh edukasi lebih baik, mengikuti siklus penuh pada spesialis yang diinginkan, dan menjalin relasi juga kurang tercapai.

Hal itu diakui para koas yang menjalani Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Pembelajaran daring membuat mereka tidak bisa berlatih keterampilan klinik secara langsung  untuk persiapan ujian.  

"Pelaksanaan ujian juga memiliki kekurangan, karena beberapa keterampilan klinik tidak dapat dipraktikkan secara langsung. Selain  itu terdapat juga kendala teknis  seperti buruknya koneksi jaringan dan mati listrik sehingga pelaksanaan ujian sempat tertunda," ujar Hans lagi.

Namun begitu, ia melihat ada sisi positif pembelajaran daring, yakni  mahasiswa dapat memahami materi dan lebih berani berdiskusi karena tidak bertatapan langsung dengan dosen.

Keadaan pandemi covid-19 memang menantang kemampuan dosen untuk beradaptasi dalam mendidik mahasiswa kedokteran baik preklinik  maupun klinik. 

Demi mempertahankan pendidikan kedokteran yang berkualitas tinggi, administrator dan dosen dipaksa untuk mencari teknologi yang inovatif. 

Virtual Reality Simulation (VRS) merupakan salah satu perangkat lunak yang memungkinkan mahasiswa kedokteran belajar dari pengalaman klinis. 

Simulasi virtual akan dilakukan berdasarkan pengalaman nyata berbasis rumah sakit. Penggunaan perangkat itu juga memungkinkan jalannya ujian dilakukan secara daring.(*/X-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya