Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Kasus Safe House di Lampung, KPPPA Evaluasi P2TP2A

Ihfa Firdausya
14/7/2020 13:45
Kasus Safe House di Lampung, KPPPA Evaluasi P2TP2A
Sejumlah relawan Gerak Perempuan mendesak DPR agar melakukan pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Senin (24/2).( MI/Susanto)

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)  melakukan evaluasi terhadap Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Pusat pelayanan ini tengah menjadi sorotan menyusul dugaan kasus pelecehan seksual remaja 14 tahun oleh petugas rumah aman atau safe house di P2TP2A Lampung.

Menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak KPPPA Nahar, evaluasi dilaksanakan reguler setiap tahun. Salah satu hasil evaluasi yang sedang dalam proses adalah perubahan kelembagaan dari P2TP2A menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak atau UPTD PPA di Kabupaten Lampung Timur.

Baca juga:Pelecehan Seksual Remaja Lampung, Kemensos Terjunkan Sakti Peksos

"Jadi nanti kalaupun P2TP2A-nya mau jalan, tetap sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Tapi struktur formal untuk layanan di Pemkab Lampung Timur nanti bentuknya UPTD PPA," ujar Nahar saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (14/7).

Saat proses menuju perubahan menjadi UPTD PPA itu, lanjut Nahar, terjadi kasus pelecehan seperti disebutkan di atas. Dia menyebut kasus itu di luar dugaan karena jelas pelaku tidak melaksanakan prosedur rumah aman.

"Bahwa mestinya si petugas ini benar-benar melindungi, karena selama ini dia melakukan tugas itu, tapi pas kejadian ini ternyata ada dugaan seperti itu. Kita serahkan ke pihak penegak hukum untuk memastikan apakah itu benar atau dugaan saja," jelasnya.

Ditanya mengenai kemungkinan pendamping korban kekerasan di P2TP2A harus sesama jenis, Nahar menyebut hal itu ada dalam pertimbangan pelaksanaan SOP.

"Di dalam SOP itu biasanya kita akan selalu mempertimbangkan kalau korbannya perempuan, lebih aman kalau didampingi oleh perempuan," katanya.

"Tapi juga kita lihat kasus-kasusnya. Kalau dia berhadapan dengan kasus yang pelakunya juga perempuan, itu kan juga bisa mengalami trauma kalau didampingi oleh perempuan. Jadi itu sangat tergantung dari kasus masing-masing anak," imbuhnya.

Saat ini, korban berinisial N sedang dalam pendampingan dan pemulihan di UPTD provinsi setempat. "Sambil pendampingan untuk proses peradilan," jelas Nahar.

Secara terpisah, pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyebut evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh. Dari segi individu, harus dievaluasi bagaimana perekrutan dan pembinaan serta pengawasannya.

Sementara dari sisi institusi, evaluasi dilakukan terhadap bagaimana standar layanan minimal bagi korban, adakah kode etik layanan, dan bagaimana struktur pengawasannya. Reza mengatakan bahwa harus dicek kapan semua standar itu dievaluasi.

"Kalau sudah lama tidak dievaluasi sehingga muncul celah-celah yang bisa membahayakan korban, maka boleh jadi ini bukan persoalan personel/oknum semata. Institusi boleh jadi harus ikut bertanggung jawab," jelasnya.

Dia juga menyarankan adanya evaluasi terhadap beberapa kebijakan nasional dan perundang-undangan yang ada.

"Review paling tidak UU 35/2014, UU 17/2016, dan UU TPPO," pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya