Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Ombudsman Duga Rapid Test Sudah Jadi Komoditas Dagang

M. Iqbal Al Machmudi
07/7/2020 22:01
Ombudsman Duga Rapid Test Sudah Jadi Komoditas Dagang
Petugas medis melakukan pendataan hasil rapid test antibodi Covid-19(AFP/Adek Berry)

ANGGOTA Ombudsman RI Alvin Lie menilai, keluarnya surat edaran (SE) Kementerian Kesehatan terkait penetapan harga tertinggi tes cepat (rapid test) antibodi Covid-19 menunjukkan selama ini rapid test telah menjadi komoditas dagang.

"Pertama, ini membuktikan selama ini biaya rapid test itu harganya gila-gilaan dan sudah menjadi komoditas dagang. Kenyataannya ini bisa ditekan menjadi Rp150 ribu," kata Alvin kepada Media Indonesia, Selasa (7/7).

Padahal, menurut Alvin, setiap perlatan rapid test harganya mencapai Rp200 ribu.

"Pertanyaan berikutnya, saya dapat laporan dari berbagai daerah bahwa rumah sakit beli rapid test kit di atas Rp200 ribu. Jadi bagaimana sudah terlanjur, apakah uangnya dikembalikan atau bagaimana," ujar Alvin.

Dalam penyelenggaraan rapid test tersebut, rumah sakit di daerah juga tidak punya pilihan karena harus membeli dari orang yang sama sehingga dikhawatirkan terjadi monopoli atau oligopoli. Rumah sakit pun tidak bisa berbuat banyak.

Selain itu di dalam Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tersebut tidak disebutkan sanksi bagi pihak yang melanggar peraturan ini atau oknum yang mematok biaya di atas Rp150 ribu.

"SE ini juga membuktikan bahwa rapid test tidak mendeteksi apakah seseorang tertular covid atau tidak. Hanya tes antibodi," ucapnya.

Baca juga : Tetap Waspada Kasus Covid-19 Masih Cenderung Meningkat

"Kenapa yang diatur harga hanya rapid test lalu PCR bagaimana karena belum ada standarnya, harganya di atas Rp1 juta sampai Rp3 juta juga standar pelayanannya rapid tes 15 menit selesai. Sementara PCR bisa sampai 7 hari. Ini perlu menertibkan pelayanan PCR test dan juga harganya transparan karena ini sudah jadi kebutuhan publik saat ini," imbuhnya.

Alvin pun mempertanyakan relevansi rapid test sebagai syarat untuk menggunakan transportasi publik, baik udara, laut, dan darat. Hal itu karena hasil rapid test belum tentu akurat mendeteksi Covid-19.

Ia meminta pemerintah untuk meninjau kembali peraturan yang mensyaratkan calon penumpang transportasi umum untuk mempunyai sertifikat uji rapid tes maupun PCR.

Karena setiap hari arus lalu lintas antardaerah menggunakan mobil pribadi atau bus tidak ada persyaratan itu.

"Pertanyaaan penularan covid ini apakah melalui udara atau droplet (percikan pernapasan). Tegakkan saja peraturan gunakan masker, suhu tubuh, jarak antara kursi di kereta/pesawat di beri sekat itu sudah cukup," jelasnya.

Ia mengungkapkan, saat ini hanya Indonesia yang mensyaratkan penumpang transportasi publik mempunyai sertifikat uji Covid-19. DI negara lain, syarat itu diberlakukan pada penerbangan internasional, bukan perjalanan domestik.

"Sebaiknya alat tes yang tersedia dimanfaatkan bagi daerah-daerah yang dikhawatirkan terjangkit atau daerah merah atau untuk orang yang suspect. Tidak menjadi syarat administratif untuk perjalanan menggunakan transportasi umum," pungkasnya. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya